InvesTime

Mau Borong Saham Lapis Kedua-Ketiga? Ini Strategi buat Newbie

Tommy Sorongan, CNBC Indonesia
21 January 2021 18:55
Kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand di Bursa Efek Indonesia, Senin (18/2/2019). kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand di Bursa Efek Indonesia, Senin (18/2/2019). kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini pasar saham di Indonesia mulai menarik bagi masyarakat, terutama kalangan milenial. Selain itu dorongan-dorongan influencer di media sosial juga dinilai turut menaikkan pamor bursa saham bagi anak muda, dan mengerek angka jumlah investor ritel baru di bursa.

Data BEI juga menunjukkan, jumlah investor pasar modal, yang terdiri atas investor saham, obligasi, maupun reksa dana, naik sebesar 56% mencapai 3,87 juta Single Investor Identification (SID) sampai dengan 29 Desember 2020.

Investor saham juga naik sebesar 53% menjadi sejumlah 1,68 juta SID.

Hanya saja, tentu masih ada hal-hal yang mungkin kurang familiar dalam berinvestasi saham untuk para pemula atau newbie.

Kebanyakan para investor pemula hanya menaruh uangnya pada saham perusahaan-perusahaan papan atas atau saham-saham berkapitalisasi besar (big cap).

Melihat fenomena itu Senior Analyst PT Henan Putihrai Sekuritas Lisa Camelia Suryanata menyatakan bahwa saham level dua atau tiga (second and third liner) juga sebenarnya menarik untuk dibeli.

"Di dalam sektor itu sendiri ada saham yang second liner dan third liner, nah jadi itu sebenarnya tidak menjadi patokan apabila newbie dikatakan harus menjadi first liner saja, it depends [tergantung] dengan sentimen market saat ini," ungkapnya dalam acara InvesTime di CNBC Indonesia, Rabu malam (20/1).

Dia mengatakan, bila ingin membeli saham papan dua atau tiga, ada tips yang dibagikan oleh Lisa. Para trader atau investor harus menyesuaikan porsi pembelian.

"Misal banking BRI [Bank BRI], nah BRI itu temen-temennya yang giant [market cap besar] itu ada Mandiri, BCA, BNI. Nah kalau kita beli BJBR [Bank Jabar Banten] atau BPKP [Bank KB Bukopin] of course kita tidak beli sebanyak BRI," jelasnya.

"Demikian juga kita beli KAEF [Kimia Farma] dan INAF [Indofarma] kita tidak beli sebanyak Kalbe [Kale Farma] yang market cap-nya lebih besar," tambahnya.

Lisa juga menjawab pertanyaan netizen di media sosial soal indeks mana yang bisa dipakai untuk menjadi pertimbangan membeli saham lapis kedua atau ketiga. Hal ini mengingat, beberapa saham yang likuid, tapi tak masuk Indeks LQ45 yang menjadi patokan di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Lisa yang juga adalah analis teknikal ini menjelaskan bahwa sebenarnya ada indeks lain yang bisa jadi pertimbangan yakni Indeks Pefindo25 yang mengukur kinerja 25 perusahaan tercatat, kelas kecil dan menengah.

"Cuma harus di-review juga laporan keuangannya, harus okay dan juga kinerja keuangannya bisa ditonjolkan dan likuid. Nama indeks ini dinamakan Pefindo karena bekerjasama dengan lembaga pemeringkat Pefindo."

Dia menjelaskan newbie tak harus masuk saham blue chip alias unggulan. Hal ini karena terjadi rotasi di pasar.

"Nah newbie apakah harus masuk di blue chips aja? Nggak juga karena sometimes rotasi itu terjadi."

"Jadi cyclical, ada saatnya selain pasar saham itu bergerak sektoral, lets say diawali dengan sektor perbankan dahulu, lalu disambung properti, then disambungkan, karena tahun ini energi terbarukan dan battery itu menjadi jawara in the future, maka mining kita bergerak gila-gilaan," kata Lisa.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hati-hati Sobat Cuan, Ini Pemicu Naiknya Saham Bank 'Mini'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular