Harimau Serang Warga di Jakarta, Ratusan Pemburu Turun Tangan
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang 2025, rubrik CNBC Insight kerap mengangkat isu kesadaran terhadap hewan. Tema ini hadir bukan semata sebagai wacana lingkungan, melainkan sebagai cermin relasi panjang manusia dan satwa yang sarat konflik, ketakutan, sekaligus konsekuensi yang kerap luput disadari.
Di Jawa, relasi rumit itu paling jelas tercermin pada harimau. Hewan loreng ini pernah menjadi penguasa hutan, simbol keganasan alam, sekaligus ancaman bagi manusia. Namun, ketegangan yang berlangsung berabad-abad itu akhirnya berujung pada satu titik, yakni perburuan masif yang menghapus harimau Jawa dari muka bumi.
Kasus paling fenomenal terjadi ratusan tahun silam di Batavia (kini Jakarta) yang masih dikelilingi hutan lebat. Kala itu, manusia hanya menempati sebagian kecil wilayah, sementara sisanya menjadi habitat satwa liar, termasuk harimau Jawa. Dalam situasi tersebut, penduduk bukan hanya hidup di bawah tekanan sistem kolonial VOC, tetapi juga menghadapi ancaman nyata dari alam yang belum sepenuhnya dapat mereka kendalikan.
Sejarawan Peter Boomgaard dalam Frontiers of Fear (2001) mencatat, sepanjang 1633-1687 setidaknya terdapat 30 laporan serangan harimau di sekitar Batavia. Kebanyakan serangan terjadi di kebun tebu-wilayah rimbun yang menjadi habitat babi hutan, mangsa utama harimau. Namun, ancaman tidak hanya mengintai di ladang. Di ruang terbuka seperti jalanan, harimau juga berkeliaran. Pada 1659, sebanyak 14 orang dilaporkan diserang harimau di kawasan Ancol dalam waktu hampir bersamaan.
Rentetan serangan ini mendorong pemerintah kolonial turun tangan. Pada 1644, VOC mengerahkan sekitar 800 orang untuk memburu harimau. Hewan-hewan yang terbunuh kemudian dipamerkan di depan Balai Kota Batavia sebagai simbol keberhasilan sekaligus peringatan. Perburuan juga melibatkan warga sipil dengan imbalan uang tunai. Seekor harimau dihargai sekitar 10 ringgit. Ini jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan beras satu keluarga selama setahun.
Insentif tersebut mengubah rasa takut menjadi peluang ekonomi. Perburuan pun berlangsung masif. Setiap tahun, puluhan harimau terbunuh di sekitar Batavia. Populasinya menyusut drastis dan terdesak ke wilayah lain yang masih berhutan, seperti Banten dan Bogor. Namun, konflik antara manusia dan harimau tidak berhenti di Batavia.
Salah satunya pada Desember 1827, di Besuki, Jawa Timur. Seorang bocah berusia 12 tahun bernama Keset terlibat pertarungan hidup dan mati dengan harimau liar. Seperti diberitakan Bataviasche Courant (15 Desember 1827), Keset mendapati banteng milik keluarganya mati diterkam harimau. Saat ia dan ayahnya, Sakal, mendatangi lokasi kejadian, harimau kembali muncul dan menyerang sang ayah.
Dalam situasi genting itu, Keset menusukkan tombak ke dada harimau hingga hewan tersebut tewas. Sakal selamat, dan kisah keberanian bocah itu menyebar luas. Namun, cerita heroik semacam ini juga memperkuat pandangan lama harimau adalah ancaman yang harus dimusnahkan demi keselamatan manusia.
Antropolog R. Wessing dalam riset The Last Tiger in East Java (1995) menjelaskan, konflik manusia dan harimau dipicu oleh perubahan ekonomi kolonial. Pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan dan kepentingan ekonomi menyempitkan ruang hidup satwa liar. Harimau menyerang ternak dan manusia, sementara manusia membalas dengan perburuan atas nama keamanan.
Dampaknya fatal. Pada 1940, populasi harimau Jawa diperkirakan tinggal 200-300 ekor. Jumlah tersebut terus menyusut hingga akhirnya pada 1980-an, harimau Jawa resmi dinyatakan punah.
Kisah-kisah ini menjadi pengingat bahwa ketakutan, kepentingan ekonomi, dan kebijakan yang abai terhadap alam dapat berjalan beriringan menghancurkan satu spesies. Tak hanya kepada harimau, tetapi juga makhluk hidup lain.
(mfa/mfa)