CNBC Insight

Teror Harimau di Perkebunan Jawa, Duel Maut dengan Bocah 12 Tahun

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
29 October 2025 13:10
A Sumatran tiger of licks it's lips as it lays down in the Attica Zoological Park in Spata, near Athens, on Tuesday Jan. 26, 2021. After almost three months of closure due to COVID-19, Greece's only zoo could be approaching extinction: With no paying visitors or state aid big enough for its very particular needs, it still faces huge bills to keep 2,000 animals fed and healthy. (AP Photo/Petros Giannakouris)
Foto: AP/Petros Giannakouris
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta,CNBC Indonesia -Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan dengan beredarnya video seorang kakek bernama Abah Ocang (70) asal Sukabumi yang ditemukan tewas terkapar di jalan. Di samping tubuhnya, terlihat seekor ular king cobra sepanjang sekitar 4 meter yang juga sudah tak bernyawa.

Mengutip Detik.com, peristiwa tragis itu ternyata berawal ketika ular mematikan tersebut merangsek masuk ke rumah Ocang melalui dapur. Tak tinggal diam, sang kakek berusaha mengusirnya menggunakan sebatang kayu. Dalam duel sengit itu, Ocang berhasil menancapkan kayu ke kepala ular hingga tewas, tetapi dirinya pun turut kehilangan nyawa setelah digigit sang king cobra.

Peristiwa manusia bertarung melawan hewan ganas bukan kali ini saja terjadi. Ratusan tahun lalu, pertarungan serupa pernah terjadi antara anak kecil berusia 12 tahun melawan harimau liar. Kisahnya terjadi pada Desember 1827 di Besuki, Jawa Timur.

Kala itu, di tengah sunyi hutan yang lebat dan tanah liar, seorang bocah berusia 12 tahun bernama Keset menjalani rutinitas seperti biasa. Setiap pagi, Keset menggiring banteng milik ayahnya ke rerumputan liar untuk mencari makan. Lalu ditinggalkan begitu saja. 

Tapi hari itu berbeda. Saat tiba di kembali pada siang hari, napasnya terhenti sebab banteng kesayangannya tergeletak tak bernyawa, tubuhnya koyak dan sebagian sudah dimakan. Dia tahu betul kalau itu perbuatan harimau liar yang kerap meneror warga.

Seperti diceritakan harian Bataviasche Courant (15 Desember 1827), tanpa ragu bocah itu berlari pulang. Dia mencari ayahnya, Sakal, lelaki tua berusia 60 tahun yang masih gagah meski renta. Tanpa pikir panjang, Sakal segera mengajak anaknya menuju lokasi kejadian.

Sebagai keturunan Madura, Keset dan keluarganya menganggap banteng bukan sekadar ternak. Dia adalah simbol kebanggaan, keberanian, bahkan persahabatan. Tentu melihat hewan itu mati mengerikan, darah keduanya mendidih.

Tapi begitu mereka tiba, malapetaka benar-benar terjadi. Dari balik semak, seekor harimau menerjang cepat, menubruk Sakal hingga roboh. Giginya mencengkeram lengan sang ayah. Seketika darah memancar dan tubuhnya diguncang kuat-kuat.

Sakal berusaha melawan dengan keris di pinggangnya, tapi kekuatan manusia tak sebanding dengan amukan harimau. Dari kejauhan Keset menjerit histeris. Dalam sekejap, nalurinya mengalahkan rasa takut. Dia meraih tombak, berlari ke arah harimau, dan menancapkannya ke dada binatang itu sekuat tenaga.

Raungan keras menggema. Harimau itu langsung ambruk di samping tubuh Sakal. Alias mati di tempat. Dalam diam yang menegangkan, hanya suara napas bocah kecil itu yang tersisa. Tubuhnya bergetar, wajahnya berlumur keringat dan debu, tapi dia berhasil menyelamatkan ayahnya.

Dengan tenaga yang nyaris habis, Keset menyeret ayahnya pulang. Darah menetes di sepanjang jalan menuju rumah mereka. Warga desa menyambut dengan tangis, sebagian tak percaya bocah sekecil itu mampu mengalahkan harimau. Tak lama, seorang dokter Belanda datang dari kota untuk mengobati luka-luka Sakal.

Menurut catatan Bataviasche Courant, sang ayah akhirnya selamat berkat keberanian seorang bocah kecil yang tak gentar menghadapi hewan paling menakutkan di pulau itu. Meski begitu, kisah tersebut menunjukkan pertarungan antara manusia dan harimau yang sayangnya berdampak negatif.

Konflik antara kedua makhluk hidup itu membuat ambisi manusia memburu harimau semakin besar. Dampaknya populasi harimau, khususnya harimau Jawa, menurun drastis. Pada 1940, diperkirakan hanya tersisa 200-300 ekor. Jumlah ini terus menyusut hingga harimau Jawa dinyatakan punah pada 1980-an.


(mfa/mfa)

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular