CNBC Insight

Semua Rata Tanah! Warga Lihat Banjir Lahar Semeru Bak Tsunami Raksasa

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Sabtu, 22/11/2025 16:15 WIB
Foto: Erupsi Gunung Semeru, Jawa Timur, Rabu (19/11/2025). (Dok. BPBD)
Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Khusus terkait bencana, naskah ini diharapkan bisa membangun kesadaran dan kewaspadaan terhadap mitigasi bencana.

Jakarta, CNBC Indonesia - Para kuli dari Pasuruan tidak pernah membayangkan bahwa lembur mereka pada Minggu malam, 29 Agustus 1909, akan berubah menjadi mimpi buruk. Malam itu mereka bekerja seperti biasa di dekat Kali Besuk, kaki Gunung Semeru untuk menimbun tanggul, memperbaiki rel kereta, dan menata bantalan besi yang rusak.

Awalnya semua tampak normal. Namun sekitar tengah malam, suasana berubah drastis ketika suara dentuman keras terdengar dari arah Semeru. Asap tebal mengepul dari puncak, tanda gunung tertinggi di Jawa itu baru saja meletus. Belum sempat mereka memproses kepanikan, teriakan dari tepi sungai membuat mereka membeku.

Dari arah hulu, massa air gelap melaju dengan kecepatan luar biasa. Dalam beberapa detik saja, campuran lumpur, pasir, kerikil, batang pohon, hingga puing rumah-rumah langsung menghantam dataran di sekitar jembatan. Sungai seakan lenyap, digantikan aliran hitam pekat.


"Seperti tsunami raksasa yang muncul," kata salah satu kuli kepada De Locomotief (3 September 1909).

Arus bandang itu menggulung apa saja. Batang pohon sebesar tiang menghantam jembatan. Rumah-rumah di tepi kali terseret tanpa ampun. Arus meluber ke jalan raya, menelan rel kereta dan menimbun bantalan besi. 

Sekitar 30 pekerja yang berada di lokasi hanya menemukan satu titik daratan kecil yang tidak diterjang air. Di situlah mereka berkumpul, sembari kebasahan, kedinginan, dan hanya bisa mendengarkan suara dentuman kayu bercampur gulungan lumpur yang terus bergerak tanpa henti. Malam itu terasa seperti tidak pernah berakhir.

"Itu jadi malam paling menakutkan," ujar seorang kuli selamat.

Ketika pagi tiba pada Senin, air mulai surut. Para pekerja bangkit dan baru menyadari skala bencana sebenarnya. Seluruh bangunan hilang, rel rusak parah, dan jasad warga ditemukan bergelimpangan di area yang sebelumnya merupakan permukiman.

Barulah kemudian diketahui bahwa bencana itu merupakan akibat langsung dari letusan besar Gunung Semeru pada 29-30 Agustus 1909. De Locomotief (6 September 1909) menulis bahwa letusan hanya terjadi sekali, tetapi efek destruktifnya sangat besar.

Material vulkanik meluncur menghantam lereng-lereng, sementara lahar yang tertahan di dalam kawah diduga meluap karena tekanan tinggi sebelum akhirnya turun sebagai banjir lahar eksplosif. Para kuli menyebutnya sebagai "tsunami" sebab tidak mengetahui fenomena teknis tersebut sebenarnya banjir lahar efek aktivitas vulkanis. 

Akibatnya, kerusakan sangat meluas. Perkebunan tebu dan tembakau hancur total. Sawah-sawah tertimbun pasir. Ternak mati. Rumah, pabrik, hingga bangunan fasilitas umum runtuh. Mayat dilaporkan ditemukan di banyak lokasi.

Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (9 September 1909) mencatat sekitar 1.000 hektare sawah tertimbun pasir, sementara 8.000 hektare sawah lain kehilangan pasokan air karena jaringan irigasi hancur. Jalan-jalan utama rusak berat, dan persediaan pangan tak dapat diselamatkan.

Dampak pada manusia juga sangat besar. Menurut Dagblad van Noord-Brabant (29 September 1909), hingga akhir September lebih dari 709 orang tercatat tewas atau hilang. Ribuan lainnya luka-luka dan kehilangan rumah. Kerugian ekonomi mencapai ribuan dolar AS-jumlah yang sangat besar pada masa itu.

Kini, lebih dari satu abad kemudian, erupsi Semeru pada Rabu (19/11) kembali menjadi pengingat gunung ini menyimpan kekuatan destruktif yang bisa muncul sewaktu-waktu. Semeru pernah menyapu seluruh lembah hanya dalam satu malam. Tentu saja, kejadian sejarah itu masih relevan hingga hari ini dan harus menjadi pengingat akan pentingnya mitigasi bencana. 


(mfa/mfa)