Warga Jakarta Beneran Minum Air Gunung Salak, Bukan dari Aqua Cs
Jakarta, CNBC Indonesia - Aqua belakangan menjadi sorotan publik. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) itu disebut mengambil air lewat sumur bor, bukan dari mata air pegunungan seperti yang diklaim. Aqua pun sudah buka suara. Mereka menegaskan air yang digunakan berasal dari akuifer di area pegunungan, bukan air permukaan.
"Sebenarnya sumber airnya ada di aquifer tanah area pegunungan. Pengambilannya di pabrik Subang menggunakan pipa untuk memastikan air sumber terjaga dari potensi cemaran selama dialirkan ke proses produksi," kata Arif Mujahidin kepada CNBC Indonesia, Kamis (23/10/2025).
Meski begitu, isu ini terlanjur bergulir dan membuat publik bertanya-tanya asal air yang diminum setiap hari. Kepada CNBC Indonesia, Minggu (26/10/2025), Menteri Lingkungan Hidup Faisol Nurafiq pun ikut angkat suara. Dia meminta semua produsen air minum untuk jujur soal sumber air yang digunakan sebagai bentuk perlindungan konsumen.
Jauh sebelum Aqua dan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) ternyata sudah ada pihak pada masa kolonial yang benar-benar mengambil air langsung dari Gunung Salak. Tak tanggung-tanggung, mereka membangun pipa sepanjang 50 kilometer untuk mengalirkan air dari Bogor ke Jakarta.
Pihak tersebut adalah Gementeestaat-Waterleidingen van Batavia. Didirikan pada 1922, lembaga ini dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda yang kelak menjadi cikal bakal PAM Jaya yang kita kenal sekarang.
Pemerintah membentuk lembaga ini sebagai solusi untuk mengatasi krisis air bersih. Selama puluhan tahun, warga Jakarta (dulu Batavia), baik pribumi maupun Eropa, kesulitan mendapatkan air bersih karena sungai-sungai yang semakin kotor. Akibatnya, mereka terpaksa mencari sumur air yang juga belum tentu bersih.
Menurut Susan Abeyasekere dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011), masalah kian besar ketika Jakarta dilanda wabah yang berkaitan dengan sumber air, seperti disentri, tipes, dan kolera. Atas dasar inilah, pada 1918 pemerintah Jakarta mulai mencari sumber air bersih yang lebih aman.
Beruntungnya, pada tahun yang sama mereka menemukan mata air baru yang sangat jernih di Ciburial, kaki Gunung Salak, Bogor. Dari sinilah proyek besar dimulai, yakni membangun pipa baja sepanjang 50 kilometer menuju Jakarta. Proyek ini bertujuan untuk menjaga kualitas air dan kelak dinamai Gementeestaat-Waterleidingen van Batavia, yang kelak ketika beroperasi berubah menjadi nama lembaga.
Menurut sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Sosial DKI Jakarta Raya (1984), proyek berjalan selama empat tahun dan selesai pada pertengahan 1922. Dalam pewartaan koran Deli Courant (30 Oktober 1922), pipa air tersebut langsung mengalir ke beberapa wilayah seperti Menteng, Matraman, dan Jatinegara dan sebagainya, dengan intensitas hampir 500 liter per detik.
Saking banyak dan kencangnya, air tersebut bahkan menghancurkan pipa-pipa tak lama setelah beroperasi.
"Air dari mata air mengalir ke dalam pipa-pipa dengan kekuatan yang luar biasa, sehingga di banyak tempat terjadi ledakan pipa air akibat udara yang tidak bisa keluar melalui katup udara," ungkap Deli Courant.
Sayangnya, air bersih ini bukan untuk semua orang. Hanya kalangan mampu yang bisa menikmati air tersebut. Hanya kalangan mampu yang bisa menikmati karena biaya instalasi sangat mahal.
Akibat kehadiran proyek ini, muncul istilah baru di masyarakat yakni air ledeng, yang diambil dari kata waterleiding, untuk menyebut air dari dalam pipa. Belakangan, sebutan "air ledeng" masih kita pakai sampai sekarang.
(mfa/wur)