Banyak PNS di Wilayah RI Ini Selingkuh, Diam-Diam Rebut Istri Teman
Jakarta, CNBC Indonesia - Perselingkuhan terjadi jika ada kesempatan dan bisa dilakukan oleh siapapun. Bahkan, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di era kolonial, atau yang saat itu disebut ambtenaar, turut larut dalam skandal asmara di balik meja birokrasi Hindia Belanda.
Sebagai wawasan, kedatangan orang-orang Belanda ke berbagai kota di Hindia Belanda sejak 1816 membawa pengaruh besar bagi masyarakat setempat. Sejarawan Peter Carey dalam Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda (2023) menyebut periode ini lazim disebut sebagai zaman baroe datang atau era kemerosotan moral.
Para pendatang itu hadir dengan gaya hidup khas Eropa yang sering dipandang tidak bermoral di Jawa. Mulai dari mabuk-mabukan hingga berselingkuh. Perselingkuhan umumnya terjadi karena mereka sulit membawa istri sah saat bertugas akibat faktor biaya.
Salah satu kasus perselingkuhan yang menjerat aparatur kolonial sering terjadi di Yogyakarta. Salah satunya dilakukan Residen Yogyakarta, Nahuys van Burgst (1816-1822). Selama enam tahun menjabat, dia membuat Pangeran Diponegoro dan keraton terkejut karena berani secara terang-terangan berselingkuh.
"Sang Pangeran merasa bingung mengenai hubungan segitiga di mana sang residen dan wakilnya, Asisten-Residen R.C.N d'Abo, tampaknya memiliki hubungan dengan seorang perempuan yang sama," ungkap Peter Carey.
Nahuys tercatat menjalin hubungan dengan istri dari teman dan bawahannya sendiri yang bernama Anna Luisa. Dari hubungan itu terkandung seorang anak hingga akhirnya Nahuys menikahi Anna pada 12 September 1824 di Yogyakarta. Namun, bagaimana nasib hubungan antara Nahuys dengan anak buahnya itu tidak pernah jelas.
Tak berhenti di situ, skandal juga menyeret nama aparatur lain, yakni Pierre Frederic Henri Chevallier (1795-1825) dan Johannes Godlieb Dietree (1782-1826). Menurut catatan Carey, kelakuan mereka bahkan lebih buruk daripada Nahuys dan dicap sebagai predator seksual. Mereka dilaporkan kerap selingkuh dan berhubungan dengan berbagai perempuan Jawa, termasuk selir Diponegoro.
Dalam satu peristiwa, Diponegoro mengetahui ada seorang selir yang berhubungan dengan Chevallier. Dia kemudian menolak selir tersebut masuk ke kediamannya karena dia sudah "disentuh" oleh Chevallier. Mendengar itu, Chevallier marah besar.
"Dia berkata 'Akan melakukan apapun yang dia inginkan terhadap para perempuan pribumi' dan memukul kepala sang Pangeran," tulis Carey.
Konon, ini jadi salah satu penyebab terjadi perang besar selama lima tahun di Jawa yang kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro. Seiring waktu, fenomena ini kemudian meluas. Banyak aparatur kolonial lain ikut berselingkuh atau bahkan merebut perempuan pribumi dari pasangan sahnya. Komandan pribadi Sultan, Mayor Tumenggung Wironegoro, misalnya, sampai disebut menjadi penyedia perempuan keraton bagi pejabat-pejabat Eropa.
Alasan fenomena ini bisa terjadi dimungkinkan karena Yogyakarta saat itu relatif terisolasi. Jika perselingkuhan terjadi, kabarnya tidak mudah sampai ke telinga istri sah para pejabat yang tinggal jauh di Negeri Belanda. Jadi, relatif aman.
(mfa/luc)