CNBC Insight

AS Diam-Diam Kerahkan Intel Awasi Presiden RI Selama di China

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
04 September 2025 11:58
Soekarno, Jokowi & Prabowo:  siapa presiden Indonesia paling sering ke china
Foto: Infografis (Aristya Rahadian)

Jakarta, CNBC Indonesia - Parade militer China pada Rabu (3/9) yang dihadiri Presiden Rusia Vladimir Putin, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, hingga Presiden RI Prabowo Subianto menjadi sorotan dunia. Salah satunya datang dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menuding adanya konspirasi.

"Semoga Presiden Xi dan rakyat China yang luar biasa merayakan hari perayaan yang agung dan abadi. Mohon sampaikan salam hangat saya kepada Vladimir Putin, dan Kim Jong Un, saat kalian berkonspirasi melawan Amerika Serikat," tulis Trump.

Sorotan AS terhadap kunjungan pemimpin dunia ke China sejatinya bukan hal baru. Dulu, Presiden RI pertama Soekarno juga pernah diawasi ketat Washington saat berkunjung ke Beijing.

Dipantau CIA

Kunjungan Presiden Soekarno ke China pada 30 September 1956 menjadi salah satu momen bersejarah dalam hubungan diplomatik kedua negara. Sambutan yang diberikan China begitu meriah dan penuh kehormatan.

Harian Kedaulatan Rakyat (1 Oktober 1956) menulis setibanya di bandara, Soekarno langsung dijemput dua pemimpin besar China, yakni Mao Zedong dan Zhou Enlai. Setelah itu, dia diarak dengan mobil terbuka melewati jalanan Beijing sejauh 15 kilometer. Ratusan ribu warga berdiri di kiri-kanan jalan, membawa foto Soekarno dan poster bertuliskan "Selamat Datang" serta "Merdeka!", sambil meneriakkan kata-kata tersebut.

Meriahnya sambutan itu tentu saja menjadi pantauan khusus AS lewat Badan Intelijen AS (CIA, Central Intelligence Agency). Saat itu dunia berada di tengah Perang Dingin (1945-1990) antara AS (liberal) dan Uni Soviet (komunis). Indonesia dianggap sebagai salah satu wilayah perebutan pengaruh. Washington tentu tidak ingin Indonesia semakin dekat dengan komunisme.

Pengawasan ini terungkap dalam dokumen rahasia CIA yang baru dipublikasikan pada 2003. Dalam laporan berjudul "Sukarno's Visit to Peiping", badan intelijen itu mencatat detail kunjungan Soekarno ke 17 kota di China selama dua minggu. Salah satu poin yang disorot adalah sikap Soekarno yang terbuka mendukung klaim China atas Taiwan.

"Dalam berbagai pidatonya, Sukarno menekankan aspirasi bersama antara rakyat China dan Indonesia. Dia mendukung tujuan Peking untuk mencaplok Taiwan, mengatakan kepada para mahasiswa bahwa persahabatan Tiongkok-Indonesia bersifat 'tak tergoyahkan', serta mengundang Mao Zedong untuk berkunjung ke Indonesia," ungkap CIA.

Kala itu, Taiwan menjadi wilayah sengketa dengan China sejak 1925. Beijing tidak mengakui kemerdekaan Taiwan dan menganggapnya sebagai provinsi yang membangkang. Tentu, sikap Soekarno mendukung China agar mencaplok Taiwan bisa berbahaya. 

Soekarno sendiri sadar langkahnya diawasi ketat AS saat kunjungan dan setelah tiba di tanah Air. Dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), dia bercerita:

"Mereka (AS) melihat kunjunganku ke Beijing dan Moskow adalah langkah yang salah," ungkap Soekarno.

Soekarno mengklaim, AS disebut memerintahkan media untuk menggiring opini negatif tentangnya. Dari situlah, menurutnya, tuduhan sebagai komunis mulai muncul.

"Itulah awalnya mereka memberi julukan kepada seorang amat mencintai Tuhan sebagai seorang komunis."

Atas dasar itu, Soekarno tidak senang dengan propaganda Amerika Serikat. Dia menegaskan China dan Indonesia sudah menjadi tetangga yang baik selama berabad-abad, sehingga tidak perlu ada campur tangan dalam urusan kehidupan bangsa lain.

Usai kunjungan tersebut, hubungan Soekarno dengan China memang semakin intens, sementara relasinya dengan AS justru merenggang. Kedekatan Indonesia-China kian terlihat ketika muncul poros baru dalam geopolitik, yakni Indonesia, China, dan Korea Utara, yang kemudian dikenal sebagai Poros Jakarta-Peking-Pyongyang.

Namun, kemesraan RI-China, begitu juga poros Jakarta-Peking-Pyongyang, berakhir seiring lengsernya Soekarno dari kursi presiden pada 1966. Penggantinya, Soeharto, menutup pintu diplomasi dengan China dengan alasan penolakan ideologi komunis serta peristiwa Gerakan 30 September. Hubungan diplomatik RI-China baru kembali terjalin pada 1990.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/mfa) Next Article Jarang Diketahui! Soekarno Hampir Diangkat Jadi Nabi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular