Pengadilan Vonis Mati Pejabat RI Bergaji Besar tapi Tak Becus Kerja
Jakarta, CNBC Indonesia - Gaji besar yang diterima para pejabat dan petinggi negara diharapkan bisa sebanding dengan kontribusi nyata ke masyarakat. Dengan bayaran tinggi, seharusnya kinerja mereka bisa lebih maksimal.
Namun, terkadang harapan itu jauh dari kenyataan. Tidak sedikit pejabat yang mengecewakan masyarakat. Ada yang terjerat korupsi. Ada pula yang ucapannya menyakiti hati. Ironisnya, evaluasi terhadap mereka sulit dilakukan.
Para pejabat di Indonesia yang berperilaku demikian tentu masih beruntung. Sebab, nasib mereka tidak seburuk J.P.F. Filz, seorang pejabat pada masa Hindia Belanda (kini Indonesia) ketika dipimpin Daendels. Filz dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan karena lalai hingga merugikan negara, meski sudah menerima gaji besar.
Dihukum Mati
Saat ditunjuk memimpin Hindia Belanda pada 1808, kebijakan pertama yang ditempuh Herman Willem Daendels adalah menaikkan gaji pejabat dan birokrat. Sejarawan Djoko Marihandono dalam risetnya Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808-1811 (2005) mencatat, Daendels berharap dengan pemberian gaji tinggi, perilaku korupsi bisa ditekan sekaligus memperbaiki kinerja aparatnya.
Selama ini, kesenjangan antara pendapatan dan gaya hidup para pejabat membuka celah besar bagi praktik korupsi. Pada masa VOC (1602-1799), korupsi bahkan sudah begitu akut hingga membuat perusahaan dagang terbesar di dunia kala itu bangkrut di penghujung abad ke-18.
Namun, kebijakan kenaikan gaji ini berjalan beriringan dengan ancaman hukuman berat. Daendels tak segan menjatuhkan hukuman mati bagi pejabat yang terbukti korup atau tidak becus bekerja. Sayangnya, guyuran gaji besar dan ancaman hukuman mati tidak otomatis membuat para bawahannya jera.
Salah satu contoh kasusnya menimpa JPF Filz.
Dalam buku De teruggave der Oost-Indische koloniën, 1814-1816 (1910), Filz disebut sebagai seorang pejabat militer berpangkat kolonel yang ditugaskan di Ambon, pusat rempah-rempah dunia kala itu. Dia mendapat mandat menjaga Ambon dari ancaman serangan musuh, khususnya Inggris.
Namun, tugas itu gagal dijalankan. Surat kabar Bataviaasche Koloniale Courant (18 Mei 1810) melaporkan Filz justru menyerahkan Ambon begitu saja kepada armada Inggris. Padahal, dia memiliki ribuan pasukan yang siap menghadang dan punya penghasilan tinggi.
Kejatuhan Ambon jelas merugikan Daendels. Dikabarkan, orang nomor satu di Indonesia itu sangat murka dan segera memerintahkan penangkapan Filz. Dia tak terima ada bawahannya yang digaji besar, tetapi tidak bisa bekerja.
"Setelah memeriksa laporan singkat, Gubernur Jenderal Daendels sangat marah dan tersentuh oleh perilaku kolonel Filz," tulis koran tersebut.
Filz kemudian dibawa ke Bogor dan langsung dijebloskan ke penjara militer. Dia dituduh merugikan negara hingga 3.000 ringgit. Dalam pengadilan di Jakarta (dulu Batavia), Filz membela diri dengan alasan kekurangan amunisi dan perbekalan. Menurutnya, mempertahankan Ambon dengan kondisi demikian hanya akan menimbulkan pertumpahan darah yang sia-sia.
"Tuntutan ini tidak dapat saya setujui karena saat itu kita kekurangan amunisi dan perbekalan. Kegigihan saya akan berakibat fatal sebab akan sangat menguras darah," tulis Filz dalam suratnya, 17 Februari 1810.
Setelah proses sidang berminggu-minggu, pengadilan militer akhirnya mengetuk palu. Koloner JPF Filz divonis hukuman mati. Majelis hakim menilai perwira menengah itu terbukti bersalah karena telah bersikap lalai membuat negara rugi imbas kehilangan sumber pendapatan penting.
Akhirnya, pada 10 Juni 1810, Kolonel JPF Filz dieksekusi dengan ditembak oleh senapan algojo.
(mfa/wur)