
Suara Gemuruh Terdengar di Jakarta, Ternyata Pertanda Gempa Dahsyat M8

Jakarta, CNBC Indonesia - Awalnya tidak ada yang berbeda dari kehidupan masyarakat Jakarta (dulu Batavia) pada Sabtu, 22 Januari 1780. Mereka menjalani akhir pekan seperti biasa dengan aktivitas masing-masing.
Namun, itu semua berubah ketika waktu menunjukkan pukul 14.39 waktu setempat. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh hebat yang seakan terdengar dari langit. Seluruh warga heran dan bertanya-tanya.
Awalnya mereka mengira suara itu berasal dari gerobak yang mengangkut barang berat. Tapi, anehnya suara itu tak kunjung hilang dan di jalanan tidak nampak pula gerobak lewat. Sampai akhirnya, beberapa detik kemudian tanah bergetar hebat.
"Pada saat yang sama terjadi guncangan bergelombang dengan arah Timur-Barat," ungkap ahli geologi Jerman, Arthur Wichmann, dalam catatannya berjudul Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857 (1918).
Bangunan-bangunan bergoyang hebat. Masyarakat berhamburan mencari perlindungan. Hingga akhirnya, getaran mereda pada pukul 14.42. Namun, bencana tidak berhenti di situ. Dua menit setelah guncangan usai, Gunung Salak di Buitenzorg (Bogor) mengeluarkan dentuman keras. Lalu Gunung Gede di dekatnya juga ikut menyemburkan asap tinggi.
Laporan koran Middelburgsche Courant (16 September 1780) menyebut, guncangan dalam kurun 3 menit itu meruntuhkan 27 bangunan di Jakarta. Sejumlah korban berjatuhan. Bahkan seorang bayi yang baru lahir dilaporkan tertimpa reruntuhan, meski beruntung masih selamat.
Di luar kota, kerusakan jauh lebih parah. Banyak rumah rata dengan tanah, sehingga membuat penghuninya mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan harta benda.
"Rumah-rumah tersebut hancur total karena mereka tidak dapat menyelamatkan barang-barang milik mereka, baik milik pribadi atau perabotan, dan terpaksa mengungsi. Gempa juga membuat kerusuhan hebat," ungkap koran berbahasa Belanda tersebut.
Pada masa itu, Jakarta memang belum dipenuhi gedung beton menjulang seperti sekarang. Bangunan masih didominasi kayu dengan fondasi sederhana. Lalu, Jakarta (Batavia) masih sebatas wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Tua. Meski begitu, kota ini sudah menjadi pusat kekuasaan dan perdagangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Beberapa hari kemudian, barulah diketahui gempa dahsyat itu tak hanya mengguncang Jakarta. Catatan Arthur Wichmann menyebut getaran dirasakan di hampir seluruh Jawa. Namun, yang paling kuat terjadi di bagian barat, khususnya Banten, Bogor (Buitenzorg), dan Cirebon.
"Gempa bumi yang terasa di seluruh Jawa dan kemungkinan juga hingga ke bagian barat Sumatra," ungkap Arthur.
Bahkan, kapal dagang berbendera Belanda, Willem Frederick, yang tengah berlayar di Selat Sunda ikut merasakan hempasan gempa laut. Istana Gubernur Jenderal di Bogor dikabarkan juga rusak parah.
Misteri yang Terungkap
Saat kejadian, tak diketahui lebih lanjut berapa jumlah korban jiwa dan data kerusakan bangunan imbas minimnya catatan sejarah. Begitu pula tidak diketahui berapa kekuatan dan penyebab gempa.
Barulah ratusan tahun kemudian berbagai penelitian sukses membuat skenario gempa pada Sabtu, 22 Januari 1780 itu. Contohnya, penelitian hasil kolaborasi ITB, BMKG, dan sejumlah universitas lain berjudul Implications for Fault Locking South of Jakarta from an Investigation of Seismic Activity along the Baribis Fault, Northwestern Java, Indonesia (2022).
Riset ini menyimpulkan gempa tahun 1780 berkaitan erat dengan Sesar Baribis.
"Sejarah menunjukkan bangunan di Batavia (kini Jakarta) pernah hancur oleh gempa bumi yang merusak pada 1699, 1780, dan 1834. Dua gempa terakhir terkait Sesar Baribis," tulis penelitian tersebut.
Sesar Baribis sendiri membentang dari Purwakarta, Cibatu (Bekasi), Tangerang, hingga Rangkasbitung. Jika ditarik lurus dari Cibatu ke Tangerang, sesar ini diperkirakan melewati sejumlah kecamatan di Jakarta seperti Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo, dan Jagakarsa.
Selain itu ada pula penelitian lain berjudul "Indonesia's Historical Earthquakes: Modelled examples for improving the National Hazard Map" (2015). Tim mengungkap skenario kejadian gempa.
Menurut mereka gempa tahun 1780 berkisar antara M7-8 yang bersumber dari aktivitas Sesar Baribis dan patahan lokal. Lalu, gempa menghasilkan intensitas maksimal hingga skala 8 MMI (Modified Mercalli Intensity).
Menurut situs BMKG, Skala 8 MMI berdampak pada kerusakan ringan terhadap bangunan konstruksi yang kuat.
"Meskipun data yang tercatat untuk peristiwa ini terbatas, diperkirakan Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Bantam (Banten), dan Cheribon (Cirebon) mengalami guncangan tanah dengan intensitas masing-masing MMI 8, 7, 6, dan 3," ungkap tim riset.
Dari perhitungan, 34 ribu orang diperkirakan tewas. Atas dasar ini, gempa 1780 disebut-sebut sebagai gempa terbesar yang pernah terjadi di Jawa. Setelah kejadian, gempa-gempa masih terus terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Paling dahsyat terjadi lagi pada 1834.
Terbaru, pada Rabu (20/8/2025), gempa M4,9 terjadi di Bekasi dan getarannya terasa hingga Jakarta dan sekitarnya. Dari catatan sejarah, mudah dibayangkan betapa kacaunya Ibu Kota jika peristiwa serupa yang terjadi ratusan tahun lalu kembali terulang. Terlebih, kali ini pusat gempanya bukan jauh di laut atau pegunungan, melainkan tepat di dekat kita.
(mfa/wur) Next Article Paket Isi 12 Kg Emas Hilang di Jakarta, Polisi & Tentara Turun Tangan
