
Gempa Dahsyat Guncang Jakarta, Rumah Mewah-Istana Megah Pejabat Hancur

Jakarta, CNBC Indonesia - Gempa di Jakarta bukan lagi sekadar bualan. Sudah seharusnya masyarakat meningkatkan kewaspadaan. Dua hari lalu, Rabu (20/8/2025), guncangan berkekuatan M4,9 dengan pusat di Karawang terasa jelas hingga Jakarta dan sekitarnya. Seketika warga panik dan berhamburan keluar rumah karena getarannya cukup kuat.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi penyebab gempa disebabkan oleh Sesar Naik Busur Belakang Jawa Barat, tepatnya di Segmen Citarum. Getaran berpusat pada koordinat 6.52 LS dan 107.25 BT, atau tepatnya berlokasi di darat pada jarak 19 km Tenggara Kabupaten Bekasi, Jawa Barat pada kedalaman 10 km.
Sejarah mencatat, Jakarta dan sekitarnya, yang kini dihuni jutaan penduduk, bukan wilayah yang asing dari gempa. Sejak ratusan tahun lalu, gempa sudah mengguncang Jakarta. Salah satunya terjadi 191 tahun lalu, ketika guncangan dahsyat meratakan banyak bangunan kokoh di Jakarta (dulu Batavia), termasuk rumah orang-orang terkaya hingga istana megah milik pejabat tinggi kolonial.
Gempa Besar 1834
Pada dini hari 10 Oktober 1834, terjadi gempa besar yang berpusat di Megamendung, Bogor, serta terasa sampai Jakarta dan sekitarnya. Saat itu penyebab gempa belum diketahui. Namun, ratusan tahun kemudian, penelitian kontemporer mengungkap gempa tersebut dipicu oleh aktivitas Sesar Baribis.
Salah satu penelitian hasil kolaborasi ITB, BMKG, dan sejumlah universitas lain berjudul Implications for Fault Locking South of Jakarta from an Investigation of Seismic Activity along the Baribis Fault, Northwestern Java, Indonesia (2022) mengungkap hal ini.
"Sejarah menunjukkan bangunan di Batavia (kini Jakarta) pernah hancur oleh gempa bumi yang merusak pada 1699, 1780, dan 1834. Dua gempa terakhir terkait Sesar Baribis," tulis riset tersebut.
Sesar Baribis sendiri membentang dari Purwakarta, Cibatu (Bekasi), Tangerang, hingga Rangkasbitung. Jika ditarik lurus dari Cibatu ke Tangerang, sesar ini diperkirakan melewati sejumlah kecamatan di Jakarta seperti Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo, dan Jagakarsa.
Besaran gempa 1834 tidak diketahui pasti, tetapi jika melihat dampaknya yang begitu merusak dipastikan magnitudnya cukup besar.
Menurut laporan Javasche Courant (22 November 1834), guncangan mengakibatkan banyak bangunan di Jakarta, Bogor (dulu Buitenzorg), dan kawasan sekitar seperti Pondok Gede, Citeureup, Cilangkap, Kranggan, Cimanggis, dan Pondok Cina rusak parah bahkan runtuh. Bahkan, ada satu desa di daerah Cipanas rata dengan tanah.
Ternyata, kerusakan tak hanya menimpa rumah warga dengan fondasi sederhana berbahan dasar kayu, melainkan juga hunian megah dan istana pejabat yang punya fondasi kuat.
Salah satu korbannya adalah Agustijn Michels, sosok yang dikenal sebagai orang terkaya di Hindia Belanda (kini Indonesia). Kekayaannya bertumpu pada tanah luas yang dia miliki di kawasan Bogor dan Bekasi. Lahan itu membentang dari Nambo, Cipanas, Ciputri, Cibarusah, Naggewer, hingga pinggiran Jakarta.
Sejarawan de Haan dalam De Laatste der Mardijkers (1917) bahkan mencatat, luas tanah Michels diperkirakan setara dengan Provinsi Utrecht di Belanda, yakni sekitar 1.449 km² atau 144 ribu hektare.
Di atas tanahnya berdiri sarang burung walet, komoditas ekspor bernilai tinggi kala itu, serta perkebunan dan tambang emas. Dari situlah pundi-pundi Michels mengalir deras, menjadikannya seorang tuan tanah superkaya.
Namun, pada gempa 1834, dia menderita kerugian besar. Koran Javasche Courant (15 Oktober 1834) melaporkan, rumah besar nan mewah berbahan batu miliknya di Citeureup runtuh hingga rata dengan tanah. Reruntuhan bahkan menimpa seorang pemuda. Selain itu, tanah-tanah miliknya juga longsor dan retak akibat guncangan.
Tak hanya itu, Istana Buitenzorg, kediaman resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, juga ikut roboh. Padahal bangunan megah yang berdiri sejak 1744 itu dikenal sangat kokoh.
"Bagian utara yang jadi pusat aktivitas, dinding luar sayap timur, dan dinding utara runtuh saat gempa bumi. Tidak ada bagian bangunan yang indah yang selamat. Semua rusak parah hingga harus dihancurkan," ungkap Javasche Courant (22 Oktober 1834).
Pemerintah kolonial kemudian berencana membangun kembali rumah pejabat tinggi itu dengan desain yang berbeda. Hasil pembangunan ulang inilah yang akhirnya berdiri megah sebagai Istana Bogor dan bisa disaksikan hingga sekarang.
Selain itu, bangunan berbahan beton yang dikenal kokoh juga hancur. Harian Javasche Courant (22 Oktober 1834) mengungkap, rumah tinggal yang dibangun pada 1821 dan gudang di pasar yang dibangun dari beton runtuh total.
Pada akhirnya, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa gempa tidak pernah pandang bulu. Jika guncangan terjadi hari ini, dampaknya pasti bisa jauh lebih besar. Jakarta yang kian padat dan dipenuhi gedung tinggi membuat penduduknya harus mempertebal kewaspadaan terkait mitigasi bencana.
(mfa/wur) Next Article Paket Isi 12 Kg Emas Hilang di Jakarta, Polisi & Tentara Turun Tangan
