CNBC Insight

Ketua DPR RI Larang Keluarga Makan Duit Haram & Ogah Bohongi Rakyat

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Senin, 01/09/2025 12:25 WIB
Foto: Suasana rapat paripurna DPR RI ke-23 masa persidangan IV tahun 2024-2025. (YouTube/DPR RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak sedikit pejabat di Indonesia yang memanfaatkan posisinya demi keuntungan pribadi, baik mengejar fasilitas maupun materi. Para pejabat yang merasa bertindak demikian seharusnya belajar dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) periode 1971-1977, yaitu Idham Chalid. 

Alih-alih menggunakan jabatan untuk memperkaya diri, Idham Chalid memilih jalan hidup lain. Dia tidak pernah memakai mobil dinas, melarang istrinya belanja dengan uang di luar gaji, hingga menjalani pensiun sebagai ulama. 

Politisi NU

Idham Chalid adalah ulama sekaligus politisi Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1956, di usia 34 tahun, dia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU. Saat itu, NU bukan hanya organisasi Islam, melainkan juga partai politik. Pada Pemilu 1955, NU menempati posisi keempat dengan 45 kursi parlemen. Menurut Greg Fealy dalam buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967 (2009), pencapaian ini tidak lepas dari peran Idham sebagai ketua tim pemenangan.


Dari titik inilah karier politiknya menanjak. Saat Indonesia menjalani demokrasi parlementer, dia pernah menjabat Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II  dan Kabinet Djuanda (1956-1959). Idham juga pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) (1963-1966).

Saat terjadi peralihan kekuasaan, karier loyalis Soekarno itu tetap berlanjut. Di era Soeharto, dia sempat menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat (1968-1971) sebelum akhirnya duduk sebagai Ketua DPR/MPR pada 1971. Meski berada di lingkar kekuasaan, sikapnya tetap konsisten, yakni sederhana dan menjauhi fasilitas negara.

Larang Keluarga Makan Duit Haram dan Ogah Bohongi Rakyat

Posisi Idham sebagai ketua DPR/MPR pada 1971 sangat mentereng. Kala itu, DPR/MPR adalah lembaga tertinggi negara yang kedudukannya berada di atas presiden. Lewat posisi itu, Idham bisa memberhentikan dan mengangkat presiden berdasarkan kehendak rakyat.

Namun, jabatan yang diemban tak membuat Idham melupakan integritas, terutama dalam hal kesederhanaan. 

Dalam sebuah buku biografi berjudul Selayang Pandang K.H. Idham Chalid (2022), disebutkan Idham tidak pernah menggunakan mobil dinas di luar agenda pekerjaan. Dia juga dengan tegas melarang istrinya memakai uang selain dari gaji resminya untuk kebutuhan sehari-hari. Baginya, keluarganya tidak boleh memakan uang yang haram.

Selain itu, Idham juga selalu mengingatkan para bawahannya untuk tidak membohongi rakyat. Menurut pemberitaan koran Abadi (18 Juli 1972), dia menegaskan masyarakat tidak bisa terus-menerus ditipu dengan janji-janji manis. Sekalipun rakyat bisa dibohongi dengan berbagai omongan, tetapi mereka lebih cerdas karena melihat langsung perbuatan nyata.

"Masyarakat mungkin bisa dibohongi dengan omongan-omongan, tetapi tidak bisa dengan perbuatan-perbuatan nyata," ungkap Idham. 

Masa jabatan Idham sebagai Ketua DPR/MPR berakhir pada 1977. Posisinya sebagai Ketua PBNU juga berakhir pada 1974. Setelahnya dia benar-benar pensiun dari dunia politik dan memilih kembali ke jalan dakwah sebagai guru ngaji. Diketahui, dia memimpin berbagai lembaga keagamaan dan aktif mengajari ratusan santri terkait keagamaan. 

Idham sendiri wafat pada 11 Juli 2010. Setahun kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Idham gelar Pahlawan Nasional. 

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/wur)