
Warga RI di Jepang Sekarat Kena Radiasi Nuklir, Dokter Angkat Tangan

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat matahari pagi menyinari Hiroshima, Arifin Bey tak tahu dirinya akan menjadi saksi sekaligus penyintas dari percikan neraka buatan manusia. Yang dia tahu, hari itu, 6 Agustus 1945, harus segera berangkat ke kampus.
Arifin Bey merupakan warga Indonesia dan mahasiswa Universitas Waseda yang sempat berpindah-pindah ruang kuliah dari satu kota ke kota lain hingga akhirnya tiba di Hiroshima. Dia adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mendapat beasiswa Nanpo Tokubetsu Ryogakusei (Nantoku) dari pemerintah Jepang.
Sejarawan Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia (2023) mengungkap, beasiswa tersebut dibuat pemerintah Jepang sebagai cara menarik perhatian pemuda Indonesia. Lewat Nantoku, pemuda diharapkan menyerap ilmu dan menerapkannya di Tanah Air.
Sepanjang jalan, Arifin disuguhi suasana Hiroshima yang syahdu. Cuaca cerah, aktivitas warga berjalan normal. Hanya saja, pagi itu dia mendengar suara pesawat hilir mudik di langit kota. Baginya itu hal biasa sebab sedang musim perang.
Setibanya di kampus, Arifin langsung menuju ruang kelas. Beberapa mahasiswa telah duduk. Tak lama, sang profesor masuk dan membuka pelajaran fisika seperti biasa.
"Selamat pagi! Sampai minggu yang lampau...," ucapnya.
Namun, kalimat itu tak pernah selesai. Suaranya menggantung, lalu matanya terpaku ke luar jendela. Arifin ikut menoleh. Kelak, apa yang dia lihat tak akan pernah dilupakan seumur hidupnya.
"Tiba-tiba dari arah jendela kelas kelihatan cahaya menyambar ibarat kilat. Tapi, tak membawa bunyi apa pun," kenangnya dalam memoar berjudul Bom Atom di Atas Hiroshima: Suatu Pengalaman Nyata (1986).
Beberapa detik kemudian, tanpa peringatan, angin panas menyapu ruangan. Dinding-dinding runtuh. Arifin terpental dan tubuhnya tertimpa reruntuhan. Dia kehilangan kesadaran di tengah kepanikan.
Saat sadar, Hiroshima telah berubah. Bau hangus dan asap menusuk hidung. Jeritan terdengar kencang di mana-mana. Langit pun berubah. Dari semula biru cerah berganti menjadi hitam pekat.
"Seakan-akan sudah maghrib," kenang Arifin.
Dengan tubuh lemah dan pandangan buram, Arifin keluar dari bangunan dan menelusuri jalan kembali ke asrama mahasiswa Indonesia. Di Hiroshima, Arifin tak sendirian. Ada Sjarif Sagala, Hassan Rahaya, dan dua mahasiswa asal Malaysia.
Dalam perjalanan, betapa terkejutnya Arifin Bey melihat Hiroshima telah berubah menjadi lautan api. Di sekelilingnya, orang-orang berlumuran darah dan tubuh mereka terbakar.
Beberapa tampak seperti mengenakan sarung tangan. Padahal itu adalah kulit mereka sendiri yang mengelupas dan menggantung akibat ledakan.
"Rupanya cahaya yang menyambar itu telah 'menguliti' bagian tangannya yang tidak tertutup lengan baju, dan kulit tangan itu menggantung sehingga tampak seperti mengenakan sarung tangan," kenang Arifin dalam memoar Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990).
Di tengah kekacauan, Arifin bertemu dua mahasiswa Indonesia lainnya, yakni Sjarif Sagala dan Hasan Rahaya. Hasan baru saja menarik Sagala dari tumpukan puing yang masih membara.
Sungai-sungai penuh dengan manusia yang hanyut, sebagian besar tak lagi bernyawa. Salah satu penyintas, Kurihara Meiko, yang diselamatkan oleh mahasiswa Indonesia, mengenang kengerian itu.
"Situasinya sungguh buruk. Di dekat kami, jasad-jasad bertumpukan dan terbakar. Baunya aneh-seperti ikan terbakar," ujarnya kepada NHK, dikutip Minggu (9/8/2025).
Dokter Angkat Tangan
Arifin, Hasan, dan Sagala tampak selamat secara fisik, kecuali Sagala yang mengalami luka cukup parah
Namun beberapa hari kemudian fakta lebih mengerikan terungkap. Tubuh mereka ternyata terdampak radiasi.
Saat tiba di tempat pengungsian di Tokyo, dokter menyatakan mereka terkena paparan radiasi dalam kadar sangat tinggi. Jumlah sel darah putih mereka anjlok drastis.
Normalnya, tubuh manusia memiliki sekitar 4.000-11.000 sel darah putih permikroliter darah. Mereka hanya memiliki kurang dari 4.000. Kondisi mereka kritis.
Para dokter bahkan sudah angkat tangan sebab tak sanggup mengobati lagi. Setiap penyintas diberi lembar pernyataan yang harus ditandatangani. Isinya pernyataan mereka tidak akan menuntut dokter jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Beruntung, mereka berhasil melewati masa kritis selama satu minggu. Setelah itu, selama lima tahun, mereka hidup di bawah pengawasan dokter yang terus memantau dampak radiasi dalam tubuh mereka.
Ketika akhirnya pulang ke Indonesia, mayoritas dari para penyintas justru menjelma menjadi pengusaha besar. Pada 1969, Sjarif Adil Sagala, yang pernah menikmati kelezatan mi khas Jepang, mendirikan mi instan pertama di Indonesia bernama Supermi.
Hasan Rahaya membangun usaha pelayaran dan kargo, bahkan sempat menjadi anggota DPR era Orde Baru. Putranya, Ferdy Hasan, kelak dikenal sebagai artis ternama. Hanya Arifin Bey yang tak memilih jalur bisnis. Dia menempuh jalan sunyi sebagai diplomat dan peneliti.
(mfa/mfa)