CNBC Insight

Bom Meledak Bunuh 120.000 Orang, Pelajar RI Lihat Malaikat Maut Datang

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
06 August 2025 12:30
BERKAS) Foto arsip dari Arsip Nasional AS yang diambil pada 6 Agustus 1945 ini menunjukkan asap mengepul setinggi 6.000 meter di atas Hiroshima, sementara asap dari ledakan bom atom pertama telah menyebar hingga 3.000 meter di atas target di dasar kolom yang naik. Pengeboman nuklir AS di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 menewaskan sekitar 140.000 orang. Beberapa hari kemudian, disusul oleh pengeboman Nagasaki pada 9 Agustus yang menewaskan sekitar 74.000 orang. Kedua pengeboman tersebut memberikan pukulan terakhir bagi kekaisaran Jepang, yang menyerah pada 15 Agustus 1945, sekaligus mengakhiri Perang Dunia II. (Foto oleh ARSIP NASIONAL / AFP)
Foto: Foto arsip dari Arsip Nasional AS yang diambil pada 6 Agustus 1945 ini menunjukkan asap mengepul setinggi 6.000 meter di atas Hiroshima. AFP/-

Jakarta, CNBC Indonesia - Pagi itu, 6 Agustus 1945, tepat hari ini 80 tahun lalu, Hiroshima seolah tak menyimpan firasat apa pun. Langitnya cerah, burung-burung berkicau di sela atap rumah, dan anak-anak kecil berlarian tanpa arah. Semua aktivitas membuat orang-orang berpikir Perang Dunia II (1939-1945) sudah usai. 

Di tengah ketenangan itu, seorang mahasiswa Indonesia bernama Sjarif Adil Sagala memulai hari seperti biasa. Dia bangun tidur, merapikan kamar, menyantap sarapan, lalu bersiap pergi kuliah. Tak ada yang aneh.

Meski kabar kekalahan Jepang mulai berembus kencang, sebagai pelajar asing, dia tak terlalu ambil pusing. Yang penting kuliah tetap jalan sebab dia adalah satu dari sedikit orang yang beruntung mendapat beasiswa dari pemerintah Negeri Sakura, yakni Nanpo Tokubetsu Ryogakusei (Nantoku).

Sejarawan Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia (2023) mengungkap, beasiswa tersebut dibuat pemerintah Jepang sebagai cara menarik perhatian pemuda Indonesia. Lewat Nantoku, pemuda diharapkan menyerap ilmu dan menerapkannya di Tanah Air. 

Namun, tak lama setelah menutup tempat makan, Sagala mendengar suara gemuruh dari langit. Dia menengadah dan melihat pesawat melintas. Baginya, itu adalah hal biasa. Pesawat tempur sudah jadi pemandangan harian di masa perang. Tapi, belakangan dia baru mengetahui pesawat tersebut adalah Enola Gay B-29 yang membawa bom atom.

"Tiba-tiba terdengar suara aneh dan.... sraatt, sinar berkilau, dengan dahsyat dan mengejutkan!" tutur Sagala dalam memoar Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990).

Sagala refleks menutup matanya dengan lengan. Seketika angin besar berembus panas disertai asap cendawan raksasa membubung ke angkasa. Dia berusaha menutup jendela dan kabur. Namun, belum sempat jauh melangkah, bangunan tempatnya berdiri ambruk dan menimpanya.

Dia pingsan. Saat sadar, tubuhnya sudah hangus terbakar angin panas, wajah penuh darah, dan tubuh terjepit reruntuhan.

Teriakannya minta tolong tak terdengar. Di sekelilingnya hanya suara rintihan dan desah nafas orang-orang sekarat. Dia mulai merasa malaikat maut sedang menunggu giliran menghampirinya.

Untungnya, bantuan datang. Arifin Bey dan Hasan Rahaya, teman sesama mahasiswa asal Indonesia, berhasil menemukannya dan menarik tubuh Sagala dari reruntuhan menuju lokasi aman.

Dalam memoar Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990), Arifin mengungkap tubuh Sagala dipenuhi luka ringan, tetapi terlihat luka berat di sekitar mata. Sagala kemudian ditaruh di pinggir sungai sembari Arifin dan Hassan mencari pertolongan. 

Kritis

Ketika situasi sudah sedikit normal, para mahasiswa Indonesia itu mengungsi di Tokyo. Sekalipun luka-luka di tubuh sudah disembuhkan, kondisi kesehatan dalam mereka kritis. Dokter memberi kabar buruk kalau tubuh mereka terkena radiasi nuklir dalam jumlah sangat tinggi.

Sel darah putih turun drastis. Dalam kondisi normal, manusia memiliki 4.000-11.000 sel darah putih per mikroliter darah. Tubuh mereka tak sampai 4.000. Keduanya kritis. Sagala bahkan sempat disebut "tipis kemungkinan untuk hidup."

Bahkan, tim dokter sudah menyerah. Para penyintas diberi lembar pernyataan yang harus ditandatangani tidak akan menuntut dokter jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 

"Pernyataan itu ditandatangani dan pasrah," kenang salah satu penyintas, Arifin Bey, dalam "Bom Atom di Atas Hiroshima" (1989).

Namun, keajaiban datang. Setelah melewati masa kritis selama seminggu, mereka bertahan. Dalam lima tahun ke depan, mereka hidup di bawah pantauan dokter. Baru setelah itu kembali ke Indonesia.

Bermodalkan pengalaman tinggal di Jepang, Sagala membangun bisnis mi instan. Pada 1969, dia mendirikan perusahaan mi instan pertama di Indonesia bermerek Supermie. Sementara teman-temannya menempuh jalan berbeda-beda.

Hassan Rahaya diketahui meniti jalan wirausaha. Sementara Arifin Bey menjadi akademisi dan diplomat. 

Kini, nama para mahasiswa Indonesia itu tercatat dalam sejarah sebagai hibakusha (被爆者). Ini merupakan istilah untuk penyintas ledakan bom atom Hiroshima yang menghanguskan 120 ribu jiwa dalam satu ledakan.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/mfa) Next Article Bak Kiamat, Kesaksian Orang Jepang Hampir Mati Tergulung Tsunami 40 M

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular