Big Stories 2024

Aksi Raja Jawa: Pindah ke Istana Baru Makin Ganas-Dicintai Rakyat

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
26 December 2024 13:15
Suasana Kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede
Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Mangkunegara VI, Raja Jawa Solo Tak Wariskan Kekuasaan ke Anak-Dicintai Rakyat

Kisah hidup Mangkunegara VI memberikan dua teladan bagi generasi mendatang. Pertama, soal kekuasaan yang tak perlu dipertahankan berlebih supaya anak bisa berkuasa.  Perlu diketahui, dalam sistem kerajaan, pewarisan kekuasaan dilakukan lintas generasi dari ayah ke anak. 

Namun, hal ini pernah tidak terjadi di Kasunanan Mangkunegara yang terlihat pada konflik suksesi kekuasaan pada 1910-an terkait orang yang cocok meneruskan kekuasaan. Kala itu, Mangkunegara VI terlibat perseteruan dengan bangsawan keturunan Mangkunegara V. 

Sebagai wawasan, perseteruan sebenarnya bermula dari sikap Mangkunegara VI yang mengubah kehidupan bangsawan. Sejarawan Wasino dalam Kapitalisme Bumiputra (2008) menceritakan, ketika awal berkuasa, Mangkunegara nyaris bangkrut. 

Maka, dia melakukan penghematan melalui pemangkasan anggaran foya-foya, menolak hidup mewah, dan meminta para bangsawan hidup sederhana. Semua ini membuat rakyat mencintainya. Sedangkan pada sisi lain, para bangsawan marah dan menyusun konflik menyerang Mangkunegara VI.

Alhasil, muncul konflik suksesi kekuasaan.

Para keturunan Mangkunegara V (bertakhta, 1811-1886) ingin anak-cucu mereka sebagai penerus takhta selanjutnya. Sebab, Mangkunegara VI yang kini berkuasa bukanlah keturunan langsung Mangkunegara V, melainkan hanya saudara.

Mereka lantas menunjuk sosok anak Mangkunegara V, Raden Mas Suryosuparto, sebagai penerus takhta. Langkah ini didukung oleh Residen Surakarta.

Sementara pada sisi lain, Mangkunegara VI ingin anak kandungnya, Suyono, meneruskan takhta. Tak ada alasan berarti bagi Raja Jawa itu meminta anak berkuasa. Sebab hal ini wajar dalam sistem kerajaan saat kekuasaan diteruskan ke anak.

Singkat cerita, friksi politik demikian lantas membuat Mangkunegara VI terdesak. Keturunan Mangkunegara V melakukan framing bahwa Suyono adalah anak hasil pernikahan Mangkunegara VI dengan pribumi. Lalu media kolonial juga turut menambah sentimen dengan mengatakan Suyono anak tidak sah, sehingga tak cocok jadi raja.

Pada akhirnya, Mangkunegara VI tak bisa melawan keturunan Mangkunegara V dan para bangsawan lain yang sudah membencinya. Maka, penguasa ke-6 Mangkunegaran itu akhirnya mengalah.

Dia berpikir tak perlu mempertahankan kekuasaan demi anak secara berlebihan. Alhasil, dia memutuskan untuk berhenti sebagai raja setelah 13 tahun berkuasa. Keputusan ini menjadikannya sebagai raja pertama yang mengakhiri takhta bukan karena meninggal.

"Mangkunegara VI akhirnya mengajukan surat pengunduran diri ke pemerintah kolonial di tahun 1912. Kepastian balasan surat ini baru datang pada tahun 1914 dan akhirnya dikabulkan pada 22 Oktober 1916," tulis tim penulis buku biografi Mangkunegara VI: Sang Reformis (2021).

Setelah resmi lengser, gelar Mangkunegara VI pun tak lagi dipakai. Publik lantas menyebutnya sebagai Suyitno. Kekuasaan lalu diteruskan oleh Suryosuparto yang diangkat sebagai Mangkunegara VII (bertakhta, 1916-1944).

Setelah terdepak dari istana, Suyitno pensiun dengan tenang. Banyak rakyat mengantarkan keluar istana sebagai bukti bahwa dia sangat dihormati dan dicintai. Saat di Surabaya, dia memutuskan menjadi pedagang dan tak mau lagi ikut campur politik kesultanan. 

(mfa/mfa)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular