
Special Interview
Problem Fluktuasi Rupiah Berhulu hingga Manufaktur
Arif Gunawan & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
11 June 2018 14:33

Bank Indonesia (BI) dan pemerintah tengah bergelut menjaga stabilitas rupiah, mulai dari menaikkan suku bunga acuan hingga menjajaki pemberlakuan pajak capital gain untuk aliran dana keluar (capital outflow) dari pasar modal. Kalangan bankir menyambut positif rencana itu karena dinilai bisa mengurangi fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terutama jelang kebijakan normalisasi suku bunga acuan di AS.
Namun, bagi pelaku pasar, kebijakan tersebut justru dikhawatirkan memicu resistensi investor global untuk masuk ke pasar modal Indonesia. Malaysia, misalnya, yang memberlakukan pajak untuk aliran modal keluar (capital outflow) tatkala krisis 1998, telah mencabutnya pada 2003. Untuk mengupas lebih jauh mengenai problem fluktuasi rupiah dan resepnya, periset CNBC Indonesia Arif Gunawan dan Yazid Muamar mewawancarai Direktur PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee baru-baru ini. Berikut petikannya:
Setelah libur panjang Lebaran, bagaimana proyeksi arah pergerakan rupiah?
Kita harus menunggu hasil rapat federal open market committee (FOMC) yang terakhir ini. Kemungkinan The Fed menaikkan lagi suku bunganya sebesar 25 basis poin, sehingga ada sedikit tekanan. Namun, bank sentral akan menjaganya agar tetap di bawah level 14.000 per dolar AS. Selama tidak ada tekanan dari pasar surat utang negara (SUN) kita, kemungkinan rupiah masih kuat. Begitu ada tekanan keluar, maka akan sulit untuk diantisipasi.
Terkait dengan itu, tepatkah langkah Gubernur BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin lagi menjadi 4,75 basis poin?
Kalau kami pikir, sebenarnya tekanan kurs rupiah sudah terjadi beberapa saat lalu. Waktu itu memang bank sentral lambat menaikkan suku bunga, lalu ada kenaikan BI 7-day repo rate tapi tekanan masih terjadi sehingga ada kenaikan ke-2. Menurut saya yang terpenting saat ini memang stabilitas nilai tukar. Namun, tidak perlu menaikan suku bunga dulu karena kami melihat ada pembaikan aliran dana sehingga indeks harga saham gabungan (IHSG) naik dari 5.700 menjadi kisaran 6.000-an yang menandakan ada dana masuk ke pasar kita dan menyebabkan rupiah menguat.
Seharusnya suku bunga tidak perlu dinaikan agresif karena ini kan amunisi kita. Ke depan kalau ada tekanan lagi, barulah suku bunga acuan dinaikkan. Jadi, saya pikir kenaikan BI 7-Day repo rate ini agak terburu-buru padahal seharusnya bisa ditunda untuk menyerap tekanan nilai tukar ke depan yang masih akan terjadi.
Bukankah kenaikan ekstra BI Repo rate diikuti penguatan rupiah? Artinya ini efektif, bukan?
Penguatan rupiah saat itu lebih karena dana asing mulai bergerak balik ke kita. Jadi setelah rapat FOMC terakhir, The Fed dalam rilisnya mengatakan bahwa AS belum akan agresif menaikkan suku bunga acuannya. Setelah itu, barulah terjadi penguatan di SUN. Jadi, itu faktor eksternal bukan pure dari kebijakan bank sentral kita.
Kemarin BI mengumumkan rencana pengenaan pajak untuk capital outflow. Pendapat anda?
Kalau pemerintah berani menerapkan itu, investor asing pasti akan lari semua. Sebelum pajak itu dikenakan, mereka akan memilih keluar dulu. Jadi kebijakan ini malah berbahaya karena investor asing yang berencana menanamkan investasinya di pasar modal Indonesia pasti akan mengurangi nilai investasinya.
Lalu bagaimana strategi memperkuat cadangan devisa dalam menghadapi capital outflow?
Mau tidak mau kita harus berada di sistem supply-chain global. Maksudnya, ketika produk kita bisa diekspor karena permintaan produk global itu stabil, maka kita akan terus menerima aliran devisa.
BI sedang meloggarkan moneter dan umumnya kenaikan suku bunga bisa menekan pertumbuhan ekonomi. Anda melihat risiko itu?
Kalau kenaikannya hanya 50 basis poin, risiko tersebut belum besar. Menurut Perbanas (Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional), masalah kita saat ini adalah ekspansi kredit yang rendah. Waktu itu banyak yang bilang bahwa ekspansi kredit akan tinggi kalau suku bunganya rendah. Padahal, ketika bunga sudah rendah di masa lalu, ekspansi kredit tidak tumbuh double digit.
Ketika periode bunga rendah terjadi di Indonesia, justru tidak ada ekspansi kredit. Artinya, kita tidak perlu khawatir dengan kenaikan suku bunga, tetapi mestinya lebih khawatir jika bisnis tidak jalan maka ekspansi kreditnya juga tidak jalan. Ini bukan karena bunga tinggi, tapi lebih karena situasi bisnis sendiri. Kalau pengusaha ngga optimistis, dia tidak menarik kredit.
Sekarang ini apa yang sebenarnya terjadi di perekonomian kita secara makro? Bukannya pemerintahan Jokowi relatif sukses men-deliver proyek infrastuktur?
Yang terjadi adalah ekonomi kita belum bertransformasi. Kita masih mengandalkan sumber daya alam (SDA), sehingga porsinya masih besar di produk domestik bruto (PDB). Ketika ada pelemahan harga komoditas dunia, maka terjadi perlambatan ekonomi. Selanjutnya, harga komoditas rendah menggerus daya beli masyarakat. Ketika komoditas mulai recovery, ada banyak pengusaha yang belum bisa meng-adjust lagi masalah yang mereka alami sebelumnya.
Lalu, SDA itu permintaannya di dunia terbatas. Kita tidak bisa langsung menaikkan produksi jika harga dunia lagi bagus. Jadi demand-nya sudah tertakar. Jadi, Indonesia perlu bertransformasi dari ekonomi berbasis SDA menuju manufacturing. Nah, untuk mencapai level manufacturing, kita perlu jembatan yaitu infrastruktur jadi pemerintah membangun jembatannya dahulu yakni infrastruktur guna menuju manufacturing-based economy.
Kondisi Indonesia ini mirip dengan "dutch desease" di mana kita mengandalkan SDA tapi abai dengan manuktur. Bagaimana menurut anda?
Indonesia sebenarnya punya industri manufaktur yang kuat sampai krisis 1997 menghantam. Sesudah krisis, pengusaha banyak yang tumbang. Lalu, mereka perlu fasilitas dari pemerintah agar bisa berusaha kembali, tetapi ini tidak terjadi. Maka, jadilah Indonesia sebagai negara pedagang dan atau negara perakit.
Ini masalah yang sangat panjang sekali. Saya pernah bertemu dengan para pengusaha yang dulunya pabrikan tetapi bangkrut pada tahun 1997. Namun, mereka trauma sehingga memilih menjadi pedagang dan perakit. Ini masalah besar negara kita sekarang. Lalu, kita juga tidak punya peta untuk menjadi negara berorientasi ekspor sehingga cenderung mengandalkan konsumsi dalam negeri sehingga banyak devisa kita yang keluar.
Bisa dibilang problem fluktuasi rupiah kita terkait erat dengan fundamental ekonomi?
Fundamental ekonomi sangat sulit dibilang sebagai kekuatan kita saat ini, karena negara yang mata uangnya menguat itu terjadi karena neraca berjalannya (current account) surplus. Di sisi lain, current account kita defisit. Nah defisit ini selalu ditutup dengan aliran modal ke portofolio sehingga kalau ada sudden reversal (penarikan dana investasi asing secara mendadak), rupiah pasti melemah.
Kini, manufaktur kita justru menghadapi deindustrialisasi, porsinya turun terus ke PDB. Sulit berharap kondisi berbalik menjadi positif secara cepat?
Masalah manufaktur kita lebih pada daya saing. Tidak gampang membuat industri manufaktur di Indonesia. Saya pernah mengajak pengusaha membuka investasi perakitan komponen Apple di Indonesia, tapi akhirnya kita tidak menang. Ketika dijajaki, ternyata masalahnya ongkos produksi di negara lain lebih rendah dengan tenaga kerja yang lebih mumpuni. Untuk membangun pabrik di Tiongkok, kita hanya cukup membawa uang ke sana, tidak pusing mengurusi pabrik, mesin dan tenaga kerja karena semuanya sudah disiapkan.
Nah ini menjadi challenge besar untuk kita. Belum lagi soal infrastruktur yang belum mendukung. Kita juga mempunyai masalah besar di sumber daya manusia. Kenapa Tiongkok bisa maju? Mereka telah mempelajari jalan sutra Tiongkok dari tahun 1978 sampai sekarang di mana dia merintis apa yang sudah dilakukan dalam perdagangan dan banyak sekali mengirim warganya untuk belajar di luar negeri agar mempercepat industrinya.
Adakah loncatan yang bisa diambil Indonesia untuk mengatasi itu semua?
Ini proses panjang. Kita harus menjadi bagian dari sistem supply chain yang ada di dunia. Misalnya, memproduksi komponen ponsel merek global. Nah, itu perlu jaminan infrastruktur yang sekarang sedang digarap. Menurut saya kita tidak bisa meloncat di sini, kalau asal loncat. Pasti kita jatuh.***
(ags/ags) Next Article Gak Cuma LQ45, Indeks Saham Ini Bisa Jadi Acuan Lho
Namun, bagi pelaku pasar, kebijakan tersebut justru dikhawatirkan memicu resistensi investor global untuk masuk ke pasar modal Indonesia. Malaysia, misalnya, yang memberlakukan pajak untuk aliran modal keluar (capital outflow) tatkala krisis 1998, telah mencabutnya pada 2003. Untuk mengupas lebih jauh mengenai problem fluktuasi rupiah dan resepnya, periset CNBC Indonesia Arif Gunawan dan Yazid Muamar mewawancarai Direktur PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee baru-baru ini. Berikut petikannya:
Setelah libur panjang Lebaran, bagaimana proyeksi arah pergerakan rupiah?
Kita harus menunggu hasil rapat federal open market committee (FOMC) yang terakhir ini. Kemungkinan The Fed menaikkan lagi suku bunganya sebesar 25 basis poin, sehingga ada sedikit tekanan. Namun, bank sentral akan menjaganya agar tetap di bawah level 14.000 per dolar AS. Selama tidak ada tekanan dari pasar surat utang negara (SUN) kita, kemungkinan rupiah masih kuat. Begitu ada tekanan keluar, maka akan sulit untuk diantisipasi.
Terkait dengan itu, tepatkah langkah Gubernur BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin lagi menjadi 4,75 basis poin?
Kalau kami pikir, sebenarnya tekanan kurs rupiah sudah terjadi beberapa saat lalu. Waktu itu memang bank sentral lambat menaikkan suku bunga, lalu ada kenaikan BI 7-day repo rate tapi tekanan masih terjadi sehingga ada kenaikan ke-2. Menurut saya yang terpenting saat ini memang stabilitas nilai tukar. Namun, tidak perlu menaikan suku bunga dulu karena kami melihat ada pembaikan aliran dana sehingga indeks harga saham gabungan (IHSG) naik dari 5.700 menjadi kisaran 6.000-an yang menandakan ada dana masuk ke pasar kita dan menyebabkan rupiah menguat.
Bukankah kenaikan ekstra BI Repo rate diikuti penguatan rupiah? Artinya ini efektif, bukan?
Penguatan rupiah saat itu lebih karena dana asing mulai bergerak balik ke kita. Jadi setelah rapat FOMC terakhir, The Fed dalam rilisnya mengatakan bahwa AS belum akan agresif menaikkan suku bunga acuannya. Setelah itu, barulah terjadi penguatan di SUN. Jadi, itu faktor eksternal bukan pure dari kebijakan bank sentral kita.
Kemarin BI mengumumkan rencana pengenaan pajak untuk capital outflow. Pendapat anda?
Kalau pemerintah berani menerapkan itu, investor asing pasti akan lari semua. Sebelum pajak itu dikenakan, mereka akan memilih keluar dulu. Jadi kebijakan ini malah berbahaya karena investor asing yang berencana menanamkan investasinya di pasar modal Indonesia pasti akan mengurangi nilai investasinya.
Lalu bagaimana strategi memperkuat cadangan devisa dalam menghadapi capital outflow?
Mau tidak mau kita harus berada di sistem supply-chain global. Maksudnya, ketika produk kita bisa diekspor karena permintaan produk global itu stabil, maka kita akan terus menerima aliran devisa.
BI sedang meloggarkan moneter dan umumnya kenaikan suku bunga bisa menekan pertumbuhan ekonomi. Anda melihat risiko itu?
Kalau kenaikannya hanya 50 basis poin, risiko tersebut belum besar. Menurut Perbanas (Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional), masalah kita saat ini adalah ekspansi kredit yang rendah. Waktu itu banyak yang bilang bahwa ekspansi kredit akan tinggi kalau suku bunganya rendah. Padahal, ketika bunga sudah rendah di masa lalu, ekspansi kredit tidak tumbuh double digit.
Ketika periode bunga rendah terjadi di Indonesia, justru tidak ada ekspansi kredit. Artinya, kita tidak perlu khawatir dengan kenaikan suku bunga, tetapi mestinya lebih khawatir jika bisnis tidak jalan maka ekspansi kreditnya juga tidak jalan. Ini bukan karena bunga tinggi, tapi lebih karena situasi bisnis sendiri. Kalau pengusaha ngga optimistis, dia tidak menarik kredit.
Sekarang ini apa yang sebenarnya terjadi di perekonomian kita secara makro? Bukannya pemerintahan Jokowi relatif sukses men-deliver proyek infrastuktur?
Yang terjadi adalah ekonomi kita belum bertransformasi. Kita masih mengandalkan sumber daya alam (SDA), sehingga porsinya masih besar di produk domestik bruto (PDB). Ketika ada pelemahan harga komoditas dunia, maka terjadi perlambatan ekonomi. Selanjutnya, harga komoditas rendah menggerus daya beli masyarakat. Ketika komoditas mulai recovery, ada banyak pengusaha yang belum bisa meng-adjust lagi masalah yang mereka alami sebelumnya.
Lalu, SDA itu permintaannya di dunia terbatas. Kita tidak bisa langsung menaikkan produksi jika harga dunia lagi bagus. Jadi demand-nya sudah tertakar. Jadi, Indonesia perlu bertransformasi dari ekonomi berbasis SDA menuju manufacturing. Nah, untuk mencapai level manufacturing, kita perlu jembatan yaitu infrastruktur jadi pemerintah membangun jembatannya dahulu yakni infrastruktur guna menuju manufacturing-based economy.
Kondisi Indonesia ini mirip dengan "dutch desease" di mana kita mengandalkan SDA tapi abai dengan manuktur. Bagaimana menurut anda?
Indonesia sebenarnya punya industri manufaktur yang kuat sampai krisis 1997 menghantam. Sesudah krisis, pengusaha banyak yang tumbang. Lalu, mereka perlu fasilitas dari pemerintah agar bisa berusaha kembali, tetapi ini tidak terjadi. Maka, jadilah Indonesia sebagai negara pedagang dan atau negara perakit.
Ini masalah yang sangat panjang sekali. Saya pernah bertemu dengan para pengusaha yang dulunya pabrikan tetapi bangkrut pada tahun 1997. Namun, mereka trauma sehingga memilih menjadi pedagang dan perakit. Ini masalah besar negara kita sekarang. Lalu, kita juga tidak punya peta untuk menjadi negara berorientasi ekspor sehingga cenderung mengandalkan konsumsi dalam negeri sehingga banyak devisa kita yang keluar.
Bisa dibilang problem fluktuasi rupiah kita terkait erat dengan fundamental ekonomi?
Fundamental ekonomi sangat sulit dibilang sebagai kekuatan kita saat ini, karena negara yang mata uangnya menguat itu terjadi karena neraca berjalannya (current account) surplus. Di sisi lain, current account kita defisit. Nah defisit ini selalu ditutup dengan aliran modal ke portofolio sehingga kalau ada sudden reversal (penarikan dana investasi asing secara mendadak), rupiah pasti melemah.
Kini, manufaktur kita justru menghadapi deindustrialisasi, porsinya turun terus ke PDB. Sulit berharap kondisi berbalik menjadi positif secara cepat?
Masalah manufaktur kita lebih pada daya saing. Tidak gampang membuat industri manufaktur di Indonesia. Saya pernah mengajak pengusaha membuka investasi perakitan komponen Apple di Indonesia, tapi akhirnya kita tidak menang. Ketika dijajaki, ternyata masalahnya ongkos produksi di negara lain lebih rendah dengan tenaga kerja yang lebih mumpuni. Untuk membangun pabrik di Tiongkok, kita hanya cukup membawa uang ke sana, tidak pusing mengurusi pabrik, mesin dan tenaga kerja karena semuanya sudah disiapkan.
Nah ini menjadi challenge besar untuk kita. Belum lagi soal infrastruktur yang belum mendukung. Kita juga mempunyai masalah besar di sumber daya manusia. Kenapa Tiongkok bisa maju? Mereka telah mempelajari jalan sutra Tiongkok dari tahun 1978 sampai sekarang di mana dia merintis apa yang sudah dilakukan dalam perdagangan dan banyak sekali mengirim warganya untuk belajar di luar negeri agar mempercepat industrinya.
Adakah loncatan yang bisa diambil Indonesia untuk mengatasi itu semua?
Ini proses panjang. Kita harus menjadi bagian dari sistem supply chain yang ada di dunia. Misalnya, memproduksi komponen ponsel merek global. Nah, itu perlu jaminan infrastruktur yang sekarang sedang digarap. Menurut saya kita tidak bisa meloncat di sini, kalau asal loncat. Pasti kita jatuh.***
(ags/ags) Next Article Gak Cuma LQ45, Indeks Saham Ini Bisa Jadi Acuan Lho
Most Popular