Bahaya atau Tidak AI Jago Berhitung, Guru Matematika Bisa Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Guru masih sering menuliskan rumus di papan tulis ketika mengawali pelajaran matematika, setidaknya itu kerap terjadi di ruang kelas di Indonesia. Kemudian siswa menghafal rumus tersebut, menirukan langkah pengerjaan, lalu mengganti angka sesuai contoh soal. Namun, pendekatan ini kerap meninggalkan pemahaman konsep yang minim.
Misalnya, ketika menuliskan rumus luas segitiga "L = ½ x a x t", guru jarang mengajak siswa menelusuri asal-usul rumus tersebut.
Akibatnya, siswa mampu menyelesaikan latihan rutin, tetapi kesulitan menjelaskan alasan di balik rumus atau mengaitkannya dengan konteks sehari-hari.
Masalah ini kian relevan dengan hadirnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mampu mengerjakan soal matematika dengan cepat dan akurat.
Di era AI, guru tidak lagi cukup mengajarkan hafalan atau rumus. Fokus pengajaran harus bergeser ke kemampuan nalar yang belum dapat digantikan mesin, seperti berpikir matematis, memahami konsep, dan mengaitkannya dengan konteks nyata.
Pendekatan menghafal prosedural, di mana guru menjelaskan langkah dan siswa menirukan, mungkin relevan pada era industri awal (1760-1840).
Saat itu, pekerja manufaktur dituntut mengikuti prosedur, sehingga latihan berulang dianggap cukup. Namun di abad ke-22, pendidikan harus menekankan penalaran, kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan beradaptasi.
"Jika siswa bisa bertanya pada ChatGPT atau Wolfram Alpha untuk menghitung luas balok, nilai belajar bukan lagi soal hasil perhitungan, tapi cara berpikir di baliknya," demikian Sitti Maesuri Patahuddin, Associate Professor di Pusat Penelitian Pendidikan STEM (SERC) Fakultas Pendidikan, Universitas Canberra, dalam tulisannya berjudul "AI makin jago berhitung, guru perlu ajarkan matematika secara kritis" yang ditayangkan The Conversation pada 18 November 2025.
Pertanyaan seperti "Bagaimana merancang kemasan makanan agar menggunakan bahan seminimal mungkin?" mendorong imajinasi, logika, dan kebijaksanaan, kemampuan manusia yang tak tergantikan mesin.
Pembelajaran Berbasis Inkuiri Jadi Tren Global
Beberapa negara, termasuk Australia, Singapura, Finlandia, dan Kanada, telah mengadopsi pendekatan berbasis inkuiri. Siswa diajak mengeksplorasi masalah nyata, membandingkan strategi, dan menemukan prinsip bersama.
Dalam model Teaching Through Problem Solving, guru tidak langsung memberikan rumus. Misalnya, siswa diminta menghitung kertas yang dibutuhkan untuk membungkus kotak. Mereka mengukur, menggambar, dan berdiskusi, hingga akhirnya menurunkan rumus secara mandiri.
Pendekatan ini sejalan dengan kerangka ELPSA (Experience, Language, Pictorial, Symbolic, Application) serta visi OECD Learning Compass 2030 dan UNESCO Futures of Education yang menekankan pembelajaran kontekstual, reflektif, dan bermakna.
Di sekolah dasar Australia, misalnya, guru mengajak siswa menganalisis data cuaca untuk menentukan "waktu terbaik bermain pada hari Senin." Siswa belajar menampilkan informasi melalui grafik, memahami data secara bermakna, dan mengambil keputusan berbasis bukti.
Guru Jadi Perancang Rasa Ingin Tahu
Pendekatan inkuiri tidak mengurangi peran guru, malah memperkuatnya. Guru menjadi perancang rasa ingin tahu, menyiapkan masalah menantang, memandu diskusi, dan membantu siswa mengaitkan intuisi dengan struktur matematika.
Saat mengajar perkalian 5×14, guru tidak langsung memberi jawaban cepat. Sebaliknya, siswa ditantang menemukan berbagai strategi: memanfaatkan sifat komutatif (14×5), memecah angka (5×10 + 5×4), hingga menggunakan alat peraga untuk strategi pengelompokan. Dengan cara ini, siswa memahami konsep, bukan sekadar menghafal.
Guru juga menerapkan pendekatan co-design, bekerja sama dengan sekolah, pelatih, dan siswa dalam merancang dan mengevaluasi pembelajaran. Dukungan alat analisis berbasis AI dapat memperkaya proses inkuiri, memastikan inovasi pendidikan lahir dari kebutuhan nyata sekolah.
Di masa depan, keberhasilan belajar matematika tidak lagi diukur dari hafalan rumus, tapi dari pemahaman pola dan makna di baliknya. Ruang kelas seharusnya menjadi laboratorium penalaran, tempat siswa menguji gagasan, memodelkan masalah, dan berkreasi bersama teknologi.
AI tidak perlu menjadi ancaman. Sebaliknya, ketika siswa berdiskusi, berdebat, dan memberikan alasan, mereka mengembangkan kebiasaan berpikir matematis yang tak dapat ditiru mesin. Kemampuan ini penting agar generasi mendatang bisa menafsirkan data, mempertanyakan bukti, dan mengambil keputusan etis.
Pendekatan inkuiri membuat siswa mampu menggunakan teknologi secara kritis, mengomunikasikan penalaran, dan menghadapi ketidakpastian dengan rasa ingin tahu. Ketika mesin bisa menghitung segalanya, tugas paling mendasar pendidikan adalah mengajarkan siswa cara berpikir matematis.
(dce)