Belajar dari China, Hutan Tambah Luas Karena Rajin Tanam Pohon
Jakarta, CNBC Indonesia - China sudah melakukan penghijauan selama beberapa dekade terakhir. Upaya untuk memperlambat degradasi lahan dan perubahan iklim itu rupanya telah menggeser distribusi air di seluruh negeri.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa program penanaman pohon dan pemulihan padang rumput telah mengubah distribusi air tawar di seluruh wilayah China dalam skala yang belum pernah diperkirakan sebelumnya.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Earth's Future, peneliti menemukan bahwa antara 2001 hingga 2020, perubahan tutupan vegetasi mengurangi ketersediaan air di wilayah monsun timur dan wilayah kering barat laut. Dua kawasan ini mencakup sekitar 74% daratan China dan menjadi lokasi utama pembangunan, lahan pertanian, hingga pusat populasi.
Sebaliknya, ketersediaan air justru meningkat di wilayah Dataran Tinggi Tibet, yang menyumbang area sisanya. Para peneliti menyebut redistribusi air ini dipicu oleh meningkatnya evapotranspirasi, yakni penguapan dan transpirasi tanaman, yang terjadi akibat meningkatnya tutupan hutan dan padang rumput.
"Kami menemukan bahwa perubahan tutupan lahan mendistribusikan ulang air," kata Arie Staal, salah satu penulis studi, dikutip dari Live Science, Jumat (5/12/2025).
"China telah melakukan penghijauan kembali dalam skala masif selama beberapa dekade terakhir. Mereka secara aktif memulihkan ekosistem yang kembali berkembang, khususnya di Dataran Tinggi Loess. Hal ini juga mengaktifkan kembali siklus Air, imbuhnya.
China dalam beberapa dekade terakhir memang menjalankan proyek penghijauan masif. Program raksasa Great Green Wall yang dimulai pada 1978 berhasil meningkatkan tutupan hutan negara itu dari 10% pada 1949 menjadi lebih dari 25% pada saat ini.
Pemerintah juga menjalankan program Grain for Green dan Natural Forest Protection yang mendorong konversi lahan pertanian menjadi kawasan hijau dan menghentikan penebangan hutan primer.
Secara global, inisiatif penghijauan China menyumbang 25% peningkatan luas daun dunia antara 2000 hingga 2017.
Namun penghijauan kembali secara drastis telah mengubah siklus air China, meningkatkan evapotranspirasi dan presipitasi. Untuk meneliti dampaknya, para peneliti menggunakan data resolusi tinggi terkait evapotranspirasi, presipitasi, dan perubahan penggunaan lahan dari berbagai sumber, serta model pelacakan uap air atmosfer.
Hasilnya menunjukkan evapotranspirasi meningkat lebih besar daripada presipitasi, yang berarti sebagian air hilang ke atmosfer.
Peneliti menyebut bahwa tren ini tidak merata di seluruh China, karena angin dapat memindahkan uap air hingga 7.000 kilometer dari sumbernya, artinya evapotranspirasi di satu tempat dapat memengaruhi presipitasi di tempat lain.
Para peneliti menemukan bahwa perluasan hutan di wilayah monsun timur dan pemulihan padang rumput di daerah lain meningkatkan evapotranspirasi, tetapi presipitasi hanya meningkat di wilayah Dataran Tinggi Tibet, sehingga wilayah lainnya mengalami penurunan ketersediaan air.
"Meskipun siklus air menjadi lebih aktif, pada skala lokal lebih banyak air yang hilang dibanding sebelumnya," kata Staal.
Hal ini memiliki implikasi penting bagi pengelolaan air, karena distribusi air di China sudah tidak merata. Wilayah utara hanya memiliki sekitar 20% air negara tetapi dihuni oleh 46% populasi dan 60% lahan pertanian.
Pemerintah China berupaya mengatasi masalah ini, namun berbagai langkah tersebut kemungkinan gagal jika redistribusi air akibat penghijauan tidak diperhitungkan, ujar Staal dan rekan-rekannya.
Belum lagi, restorasi ekosistem dan penghijauan di negara lain juga dapat memengaruhi siklus air di sana.
"Dari sudut pandang sumber daya air, kita perlu melihat secara kasus per kasus apakah perubahan tutupan lahan tertentu menguntungkan atau tidak," kata Staal.
"Hal ini tergantung antara lain pada seberapa banyak air yang naik ke atmosfer akan turun kembali sebagai presipitasi.
(dem/dem)