Alasan Ilmiah Orang Gemar Belanja Online Saat Stres

Dany Gibran, CNBC Indonesia
Jumat, 05/12/2025 15:00 WIB
Foto: CNBC
Dafar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Belanja online kini bukan lagi sekadar sarana memenuhi kebutuhan, tetapi juga menjadi pelarian emosional bagi sebagian orang. Fenomena ini dikenal sebagai retail therapy, yaitu kecenderungan membeli barang untuk memperbaiki suasana hati.

Meski kerap memberi rasa lega sesaat, kebiasaan ini bisa berdampak negatif jika dilakukan tanpa kendali. Sejumlah riset psikologi dan studi perilaku konsumen mengungkap alasan ilmiah di balik kecenderungan tersebut.

1. Belanja Online sebagai "Mood Booster" Instan

Saat stres, otak manusia cenderung mencari stimulus cepat yang mampu memberikan rasa nyaman. Dalam artikelnya, TIME dalam artikel "Why Online Shopping Makes You So Happy" menjelaskan bahwa aktivitas belanja, terutama secara online, dapat memberikan instant gratification dan membantu mengurangi emosi negatif karena prosesnya mudah, cepat, dan minim hambatan. Browser produk, menekan tombol "checkout", hingga menunggu paket datang dapat memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang berkaitan dengan rasa senang dan puas.


2. Memberi Rasa Kendali di Tengah Ketidakpastian

Stres sering kali muncul ketika seseorang merasa kehilangan kendali atas situasi hidupnya. Dalam kajian psikologi konsumsi, Psychology Today menjelaskan bahwa mengambil keputusan pembelian sekecil apa pun, dapat memberi ilusi kontrol dan otonomi emosional. Memilih produk, membandingkan harga, hingga menentukan waktu pembelian membuat individu merasa kembali memegang kendali, meskipun efek tersebut bersifat sementara.

Cleveland Clinic juga menguatkan temuan ini. Dalam ulasannya tentang retail therapy, institut kesehatan tersebut menyatakan bahwa belanja bisa menjadi mekanisme coping emosional karena memberi rasa "berhasil" dan "berdaya" di saat kondisi mental sedang tertekan.

3. Desain E-Commerce dan Dorongan Impulse Buying

Kemudahan teknologi menjadi faktor penguat perilaku belanja impulsif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa desain platform e-commerce mulai dari navigasi sederhana, rekomendasi personal, hingga promo waktu terbatas ternyata sangat efektif mendorong keputusan emosional.

Penelitian yang dipublikasikan Asia-Pacific Management and Business Application menemukan bahwa harga kompetitif, sistem pembayaran digital, dan personalisasi algoritma meningkatkan peluang impulsive buying secara signifikan. Studi lain pada konsumen e-commerce di Indonesia juga menyebutkan bahwa aktivitas browsing dan motivasi hedonik berkorelasi kuat dengan pembelian tanpa perencanaan.

Promo flash sale, notifikasi diskon, dan kemudahan paylater "beli sekarang, bayar nanti" membuat otak cenderung mengesampingkan pertimbangan rasional terutama ketika emosi sedang tidak stabil.

4. Media Sosial dan Tekanan Psikologis Digital

Media sosial turut memperkuat fenomena retail therapy. Penelitian yang dilakukan di lingkungan akademik Indonesia, termasuk studi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menunjukkan adanya hubungan antara stres akibat media sosial dengan perilaku impulsive buying. Faktor pemicunya antara lain fear of missing out (FOMO), tekanan sosial, serta paparan konten promosi yang masif.

Konten seperti review produk, unboxing, live shopping, dan rekomendasi influencer menciptakan ilusi kebutuhan mendesak. Saat kondisi emosional sedang rapuh, pengguna menjadi lebih rentan mengambil keputusan pembelian tanpa pertimbangan matang.

5. Dampak Negatif: Dari Boros Hingga Stres Finansial

Belanja saat stres memang memberi kelegaan sementara, tetapi efeknya tidak bertahan lama. Studi dari ScienceDirect menunjukkan bahwa meningkatnya impulsive buying berkontribusi pada tingginya tingkat pengembalian barang karena banyak orang membeli tanpa pertimbangan yang matang.

Sementara itu, WebMD menjelaskan bahwa metode pembayaran digital membuat seseorang tidak "merasakan" kehilangan uang, sehingga konsumsi menjadi lebih tidak terkontrol. Hal ini bisa menyebabkan:

  • penyesalan setelah membeli,

  • tekanan finansial,

  • kecanduan belanja,

  • konflik dengan keluarga atau pasangan.

Cara Mengendalikan Belanja Online Saat Stres

Agar belanja tidak menjadi pelarian yang merugikan, berikut beberapa langkah praktis berdasarkan panduan psikologi dan keuangan:

1. Terapkan Aturan 24 Jam

Tunda setiap keputusan pembelian selama satu hari untuk memberikan waktu berpikir.

2. Nonaktifkan Notifikasi Promo

Hapus dorongan visual dari flash sale dan penawaran terbatas.

3. Atur Anggaran Belanja

Tetapkan dana khusus untuk belanja hiburan agar tidak mengganggu kebutuhan pokok.

4. Cari Pengalihan Emosi yang Lebih Sehat

Olahraga, meditasi, journaling, atau berbicara dengan teman sering kali lebih efektif daripada belanja.

5. Sadari Pemicu Emosi

Catat kapan Anda paling sering ingin belanja. Jika selalu muncul saat stres, bisa jadi itu tanda mekanisme coping yang tidak sehat.

Kesimpulan

Belanja online saat stres adalah fenomena umum dan dapat memberikan kenyamanan instan. Namun, jika dilakukan terlalu sering dan tanpa kontrol, kebiasaan ini dapat mengarah pada perilaku konsumtif, masalah finansial, dan stres tambahan. Memahami alasan psikologis di baliknya membantu kita lebih waspada dan mampu membangun kebiasaan belanja yang lebih sehat.


(dag)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Stablecoin-Ethereum, Mana Yang Diburu Saat Global Bergejolak?