Penelitian Ungkap Banjir di RI Lebih Sering dan Makin Parah

Novina Putri Bestari, CNBC Indonesia
Rabu, 03/12/2025 06:30 WIB
Foto: Citra satelit saat banjir, sawah hanyut, di sungai Peusangan, di Bireuen, Indonesia, 30 November 2025. (via REUTERS/VANTOR)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah penelitian pada 2020 mengungkapkan banjir akan sering terjadi di Indonesia dan lebih parah. Peningkatan ini terjadi dengan interaksi antara proses ekohidrologi dan sosial, begitu juga adanya degradasi tanah pada lahan monokultur, perluasan perkebunan kelapa sawit ke lahan basah dan pembangunan bendungan pelindung banjir.

Penelitian ini dilakukan tim peneliti dari Universitas Göttingen, IPB University di Bogor, dan BMKG. Mereka melakukan hampir 100 wawancara dengan petanik kecil, penduduk desa, dan pengambil keputusan di Provinsi Jambi.

Tim peneliti melakukan perbandingan dan analisa dengan pengukuran ilmiah curah hujan, muka air sungai dan air tanah, sifat tanah dan pemetaan penggunaan lahan dari wilayah itu.


Para ilmuwan dari Pusat Penelitian Kolaboratif Jerman-Indonesia EFForTS menunjukkan adanya hubungan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan karet dengan siklus air lokal. Pengalihan lahan membuat air hujan lebih sedikit yang terserap tanah.

"Perubahan tata guna lahan skala besar membuat pemadatan tanah, jadi lebih sedikit air hujan terserap tanah dan air dengan cepat mengalir ke permukaan. Khususnya kerusakan dataran banjir yang kian parah memiliki peranan penting pada proses ini," kata rekan penulis Christian Stiegler dari Universitas Göttingen, dikutip dari Science Daily, Selasa (2/12/2025).

Sementara itu, penduduk desa memandang pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase memiliki peranan pada perubahan pola banjir lokal. Pembangunan ini dimanfaatkan pemilik lahan perkebunan kelapa sawit, yang kian banyak dibudidayakan di lahan basah seperti dataran banjir sungai atau lahan gambut.

Bendungan ini, penulis utama Jennifer Merten dari Universitas Göttingen mengungkapkan kerap kali jadi penyebab peningkatan banjir pada perkebunan kecil. Artinya juga ketegangan dan konflik sosial baru terjadi karena adanya peningkatan banjir.

Para peneliti mengingatkan untuk melakukan perlindungan tanah dan perencanaan tata guna lahan untuk mengurangi dampak perubahan penggunaan lahan pada siklus air. Khususnya lahan yang berada di dataran banjir dan lahan basah.

Merten menambahkan penting juga mengatur lanskap wilayah untuk melindungi masyarakat dari banjir. "Jika tidak, peningkatan banjir akan berdampak khususnya pada masyarakat miskin, karena perusahaan-perusahaan besar hanya akan mengalihkan air," ucapnya.

Bencana banjir bandang

Sementara itu, banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh disebut bukan hanya terjadi karena curah hujan tinggi. Namun adanya kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).

Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo menjelaskan hutan di wilayah tersebut punya peranan penting seperti penyangga hidrologis. Hutan itu bisa menjadi spons untuk menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya untuk tidak langsung masuk ke sungai.

Hatma juga mengatakan peranan penting hutan untuk menjaga keseimbangan siklus air. Selain itu hutan dapat mencegah banjir saat musim hujan tiba.

Namun saat hutan di hulu rusak atau gundul, maka dampaknya akan sangat besar. Siklus hidrologi alami dan semua fungsi hutan bakal menghilang karena hal tersebut.

"Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. Akibatnya, mayoritasi hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir," jelasnya dikutip dari laman resmi UGM.

Dia juga menyoroti tren deforestasi masif yang terjadi di sejumlah wilayah di Sumatra. Misalnya di Aceh, berdasarkan data BPS setempat dan lembaga lingkungan, telah kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan sepanjang tahun 1990-2020.

Di Sumatra Utara tercatat wilayah tutupan hutan hanya 29% atau 2,1 juta ha pada 2020. Sedangkan, Sumatra Barat mencatat proporsi hutan 54% atau 2,3 juta ha pada 2020.

Meski begitu, laju deforestasi Sumbar tercatat yang tertinggi. Catatan Walhi setempat menunjukkan 320 ribu ha hutan primer dan 740 ribu ha tutupan pohon hilang di sana pada 2001 hingga 2024.

Bahkan, hanya dalam rentang satu tahun pada 2024 lalu, deforestasi di Sumatra Barat mencapai 32 ribu. Sisa hutan diketahui hanya berada di lereng curam Bukit Barisan, yang berisiko bencana longsor hingga banjir bandang.


(dem/dem)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Revisi UU P2SK Ancam Industri Kripto, Bikin PHK - Investor Lari