Startup Rp 367 Triliun Sekarang Harganya Nol, Begini Nasib CEO

Redaksi, CNBC Indonesia
Senin, 24/11/2025 15:45 WIB
Foto: Byju Raveendran, pendiri dan CEO aplikasi pembelajaran Byju. (Youtube/World Goverment Summit)

Jakarta, CNBC Indonesia - Startup edtech Byju pernah memiliki valuasi US$22 miliar atau setara Rp367 miliar. Namun, startup bermasalah tersebut kini tidak ada harganya. Hal ini sempat diungkap BlackRock, investor kawakan yang memegang saham Byju, beberapa saat lalu.

Nasib pendiri sekaligus CEO-nya kini memprihatinkan. Putusan pengadilan kepailitan AS memerintahkan Byju Raveendran untuk membayar lebih dari US$1,07 miliar (Rp17 miliar) karena kasus yang melilit perusahaannya.


Ravendraan mengecam putusan tersebut dan membantah melakukan kesalahan. Ia menuduh para kreditur menyesatkan pengadilan, dan berjanji akan mengajukan banding atas putusan tersebut.

Ravendraan sendiri dulunya dikenal sebagai ikon kemajuan startup di India. Ia digadang-gadang sebagai sosok legendaris yang memulai popularitas industri startup teknologi di Negeri Berjuta Dewa.

Hakim kepailitan Delaware mengeluarkan putusan setelah menemukan Raveendran berulang kali mengabaikan perintah pengadilan dan memberikan tanggapan yang "menghindar dan tidak lengkap" terkait uang senilai US$533 juta yang diduga ditransfer oleh unit Byju di AS pada 2022 lalu dan tidak pernah dikembalikan.

Hakim juga menyebutkan masalah dengan kepemilikan saham kemitraan terbatas terpisah yang bernilai sekitar US$540,6 juta. Putusan tertanggal 20 November tersebut bermula dari tindakan hukum para pemberi pinjaman yang berupaya menarik kembali dana pinjaman berjangka sebesar US$1,2 miliar yang mereka berikan kepada Byju, dikutip dari Tech Crunch, Senin (24/11/2025).

Pada April 2025, sekelompok pemberi pinjaman AS yang dipimpin oleh GLAS Trust menggugat Raveendran dan istrinya, salah satu pendiri Byju, Divya Gokulnath, di pengadilan kepailitan Delaware atas hilangnya dana pinjaman sebesar US$533 juta.

Pasangan tersebut membantah melakukan kesalahan pada saat itu dan menuduh para pemberi pinjaman mencoba melakukan pengambilalihan paksa terhadap perusahaan.

Mereka kemudian mengungkap rencana untuk mengajukan gugatan senilai US$2,5 miliar terhadap GLAS Trust dan lembaga lainnya di India dan yurisdiksi lainnya, meskipun belum ada pengajuan gugatan serupa yang dipublikasikan.

Gugatan ini merupakan tambahan atas gugatan yang diajukan Byju di Mahkamah Agung New York yang menggugat percepatan pinjaman berjangka pada 2023 silam.

Perintah terbaru pengadilan tersebut menyusul sidang pada 29 September terkait permintaan default, di mana hakim mengutip pola ketidakpatuhan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.

Hakim mencatat Raveendran melewatkan sidang, melewati tenggat waktu yang diperpanjang, dan mengabaikan perintah sebelumnya yang menjatuhkan sanksi harian sebesar US$10.000 yang masih belum dibayarkan.

Hakim kepailitan AS Brendan Shannon mengatakan keringanan yang diberikan dalam kasus ini "luar biasa". Ia mengatakan keadaan dalam kasus ini cukup unik dan tidak seperti kasus lain yang pernah ditangani. Hakim memberi para pihak tujuh hari untuk menanggapi putusan tersebut.

"Kami menilai bahwa Pengadilan AS keliru dalam putusannya atas perkara ini dan akan mengajukan banding dan gugatan lain yang diperlukan terkait putusan ini dan perintah-perintah terkait," ujar J. Michael McNutt, penasihat litigasi senior di Lazareff Le Bars, yang mewakili Raveendran, dalam pernyataan tertulis kepada TechCrunch.

"Menurut pandangan kami, pengadilan mengabaikan fakta-fakta yang relevan," ia menambahkan.

Penasihat hukum Raveendran berargumen bahwa pengadilan mengeluarkan putusan tanpa memberinya kesempatan untuk mengajukan pembelaan dan malah mengandalkan perintah pengadilan yang dikeluarkan sebelumnya.

Penasihat hukum tersebut juga berargumen bahwa putusan tersebut gagal mengakui bahwa GLAS Trust mengetahui dana pinjaman Alpha tidak digunakan untuk keuntungan pribadi Raveendran atau pendiri lainnya, melainkan untuk Think & Learn, perusahaan induk startup tersebut, kata penasihat hukum tersebut.

Penasihat hukum mengatakan para pendiri Byju sedang mempersiapkan tuntutan terhadap GLAS Trust dan pihak lain di berbagai yurisdiksi, yang diperkirakan akan menuntut ganti rugi setidaknya US$2,5 miliar dan, jika tidak ada penyelesaian, akan diajukan sebelum akhir tahun 2025.

Meskipun demikian, putusan verstek ini menandai kejatuhan yang mencengangkan bagi Raveendran dan perusahaan eponimnya, yang pernah menjadi startup paling berharga di India dengan valuasi US$22 miliar.

Byju didukung oleh investor global termasuk Tiger Global, Chan Zuckerberg Initiative, dan Prosus. Perusahaan ini kini terjerat tuntutan hukum, kekeringan pendanaan, PHK massal, dan perebutan kendali sementara para pemberi pinjaman.

Raveendran sebelumnya menantang yurisdiksi pengadilan Delaware, tetapi hakim menolak argumen tersebut dalam putusan sebelumnya.

"Perilaku Raveendran yang menimbulkan litigasi di sini berkaitan dengan aktivitasnya dalam penggalangan dana Amerika Serikat dan menjabat sebagai direktur, pejabat, atau manajer perusahaan Amerika Serikat," tertera dalam putusan sebelumnya.

Awal pekan ini, sebuah dokumen dalam kasus kebangkrutan Delaware menuduh bahwa sebagian besar dari YS$533 juta yang hilang dari unit Byju di AS, Alpha, dikirimkan kembali ke Byju Raveendran dan rekan-rekannya.

Dalam tanggapannya, Raveendran membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk keuntungan pribadi. Sementara itu di India, Byju sedang menjalani proses penjualan yang diawasi pengadilan setelah proses kebangkrutan dimulai tahun lalu, dengan penawar awal termasuk Manipal Education and Medical Group (MEMG) dan UpGrad milik Ronnie Screwvala.


(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Investor Kripto Ramai-ramai Jual Aset,Bitcoin Cs Masih Menarik?