Cari Kerja Makin Susah, Banyak Profesi Bergaji Tinggi Mulai Hilang

Redaksi, CNBC Indonesia
23 October 2025 13:20
Infografis: 'Bom Waktu' di Jawa: Anak Muda Nganggur & Kemiskinan Ekstrem
Foto: Infografis/'Bom Waktu' di Jawa: Anak Muda Nganggur & Kemiskinan Ekstrem/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian ekonomi dan perkembangan teknologi AI yang pesat, membuat bursa kerja terguncang. Banyak pekerjaan manusia yang sudah mulai digantikan oleh AI karena lebih murah, cepat, dan produktif.

JPMorgan Chase dan Goldman Sachs dilaporkan sudah mulai memanfaatkan AI untuk mengurangi jumlah karyawan. CEO Ford, Jim Farley, memperingatkan bahwa AI akan menggantikan separuh dari seluruh pekerja kerah putih (white-collar).

Istilah white-collar merujuk pada pekerja profesional atau di level manajerial yang biasanya bekerja di kantor. Pekerjaan jenis white collar tidak terlalu mengandalkan tenaga fisik, berbeda dengan pekerjaan kerah biru (blue-collar). Biasanya pekerjaan white-collar meraup gaji lebih tinggi ketimbang blue-collar.

Marc Benioff dari Salesforce mengklaim AI telah menangani hingga 50% beban kerja perusahaan. CEO Walmart, Doug McMillon, mengatakan kepada The Wall Street Journal bahwa AI akan mengubah hampir semua pekerjaan.

Hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun, popularitas AI kian membludak. Para petinggi perusahaan besar terang-terangan mengatakan kepada karyawan dan investor bahwa AI membawa revolusi teknologi yang mengubah lanskap tenaga kerja secara drastis.

Bermula dari kemunculan ChatGPT buatan OpenAI yang melayani masyarakat dengan chatbot canggih, teknologi AI kini sudah dimanfaatkan oleh bisnis. Perusahaan-perusahaan mulai mengembangkan agen AI untuk mengotomasi berbagai fungsi, mulai dari layanan konsumen, pemasaran, pengkodean, pembuatan konten dsb.

Estimasi terbaru dari Goldman Sachs menunjukkan bahwa 6-7% pekerja di AS terancam kehilangan pekerjaan mereka gara-gara AI. Stanford Digital Economy Lab menemukan bahwa perekrutan karyawan tingkat pemula (entry-level) di bidang-bidang yang terpapar AI sudah turun 13% sejak model bahasa berskala besar (LLM) berkembang.

Laporan tersebut menyatakan bahwa pengembangan software, layanan pelanggan, dan pekerjaan administrasi adalah jenis pekerjaan yang paling rentan terhadap AI saat ini.

"Kita berada di awal perkembangan kemajuan multi-dekade yang akan berdampak besar pada pasar tenaga kerja," kata Gad Levanon, kepala ekonom di Burning Glass Institute, sebuah firma riset yang berfokus pada perubahan ekonomi dan tenaga kerja, dikutip dari CNBC International, Kamis (23/10/2025).

Otomatisasi memang bukanlah hal baru. Teknologi baru memang kerap mendisrupsi pekerjaan manusia. Mesin cetak, mesin ATM, mesin kasir mandiri, atau agen pemesanan online sudah menggantikan tenaga kerja manusia dengan berbagai bentuk teknologi. Dalam prosesnya, lapangan kerja baru bermunculan dan perekonomian beradaptasi serta berkembang.

Sebuah laporan dari Forum Ekonomi Dunia awal tahun ini memperkirakan bahwa serbuan AI, robotika, dan otomatisasi dapat menggantikan 92 juta lapangan kerja pada tahun 2030, sekaligus menambah 170 juta peran baru. Pengembangan, penelitian, keselamatan, dan implementasi AI merupakan area yang terus berkembang, begitu pula robotika.

Erik Brynjolfsson, direktur kelompok riset Stanford, mengatakan bahwa, selain jenis peran baru, pekerjaan fisik seperti asisten kesehatan dan pekerja konstruksi sejauh ini terlindungi dari disrupsi AI.

"Akan ada lebih banyak turbulensi di kedua arah dalam beberapa bulan dan tahun mendatang. Kita perlu mempersiapkan tenaga kerja kita," kata dia dalam sebuah wawancara.

Dalam sebuah survei baru-baru ini, The New York Fed menemukan bahwa hanya 1% perusahaan jasa yang melaporkan PHK karena AI dalam enam bulan terakhir.

Society for Human Resource Management mengatakan bahwa data mereka menunjukkan bahwa 6% pekerjaan di AS telah diotomatisasi hingga 50% atau lebih.

CEO Amazon Andy Jassy mengatakan pada Juni 2025 bahwa tenaga kerja korporat perusahaannya akan menyusut karena AI selama beberapa tahun ke depan. Ia mendorong karyawan untuk mempelajari cara menggunakan perangkat AI agar pada akhirnya dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dengan tim yang lebih tangguh.

The New York Times menerbitkan sebuah artikel investigasi pada pekan ini, yang menunjukkan bahwa tim otomasi Amazon memperkirakan dapat menghindari perekrutan lebih dari 160.000 orang di AS pada tahun 2027, yang setara dengan penghematan sekitar 30 sen untuk setiap barang yang dikemas dan dikirim Amazon. Laporan tersebut didasarkan pada wawancara dan dokumen strategi internal, kata Times.

Juru bicara Amazon mengatakan kepada CNBC International bahwa dokumen-dokumen yang dilaporkan Times memberikan gambaran yang tidak lengkap dan menyesatkan tentang rencana perusahaan.

"Dalam hal ini, materi tersebut tampaknya mencerminkan perspektif satu tim saja dan tidak mewakili strategi perekrutan kami secara keseluruhan di berbagai lini bisnis operasional kami saat ini atau ke depannya," kata juru bicara tersebut dalam sebuah email.

Benioff mengatakan bulan lalu bahwa perusahaan software-nya telah memangkas jumlah peran customer support dari 9.000 menjadi 5.000. Ia mengatakan "saya membutuhkan lebih sedikit karyawan".

Perusahaan fintech Swedia, Klarna, mengatakan telah mengurangi jumlah tenaga kerjanya sebesar 40% seiring dengan adopsi AI.

CEO Shopify, Tobi Lutke, pada April lalu meminta karyawan membuktikan kenapa pekerjaan mereka tidak bisa digantikan oleh AI. Hal ini kian menegaskan bahwa peran manusia makin jelas digeser oleh kemunculan AI yang canggih.


(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cakung DC Bisa Berubah Total, Ini Bukti Manusia Bisa Digantikan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular