
Tanda Kiamat Makin Jelas, Sekarang Bisa Terlihat di Beras

Jakarta, CNBC Indonesia - Penelitian terbaru mengungkapkan dampak serius perubahan iklim terhadap ketahanan pangan global. Sawah ternyata berpotensi menyimpan racun arsenik berbahaya yang jumlahnya meningkat seiring pemanasan global dan naiknya kadar karbon dioksida (CO₂) di atmosfer.
Dalam kondisi sawah yang tergenang, oksigen dalam tanah berkurang. Hal ini menyebabkan mineral besi yang biasanya mengikat arsenik larut, sehingga arsenik menjadi lebih mudah bergerak dan terserap akar padi.
Ketika suhu bumi naik lebih dari 2°C dari tingkat pra-industri ditambah CO₂ yang lebih tinggi, penyerapan arsenik anorganik, bentuk arsenik paling berbahaya, diprediksi meningkat tajam.
Riset yang dipublikasikan di jurnal medis terkemuka ini dilakukan tim peneliti dari Columbia University bersama kolaborator di Tiongkok dan Amerika Serikat.
"Hasil penelitian kamu menunjukkan bahwa peningkatan kadar arsenik ini bisa secara signifikan meningkatkan kejadian penyakit jantung, diabetes, dan dampak kesehatan non-kanker lainnya," jelas Dr. Lewis Ziska, Associate Professor of Environmental Health Sciences di Columbia Mailman School, dikutip dari laman Earth, Kamis (4/9/2025).
Mereka menanam 28 varietas padi di lapangan terbuka selama sekitar satu dekade menggunakan sistem Free-Air CO₂ Enrichment (FACE), sehingga data mencerminkan kondisi nyata di alam.
Hasilnya, proyeksi menunjukkan risiko kanker seumur hidup, khususnya kanker paru-paru dan kandung kemih, meningkat hingga 44% dibanding kondisi saat ini. Hanya di Tiongkok saja, diperkirakan bisa terjadi tambahan 19,3 juta kasus kanker terkait arsenik dari konsumsi beras.
"Dari perspektif kesehatan, efek toksik dari paparan kronis arsenik anorganik sudah sangat jelas; termasuk kanker paru-paru, kandung kemih, kulit, serta penyakit jantung iskemik," ujar Dr. Ziska.
Dampak non-kanker juga tak kalah penting. Model tersebut menunjukkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan metabolik akibat paparan arsenik anorganik jangka panjang pada populasi dengan konsumsi beras tinggi.
Wilayah yang paling berisiko adalah Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Tiongkok Selatan, di mana beras menjadi makanan pokok harian dan sawah kerap dibiarkan tergenang.
Selain faktor iklim, kadar arsenik juga dipengaruhi sumber air irigasi, jenis tanah, serta varietas padi yang ditanam.
Untuk mengurangi bahaya ini, para peneliti menyarankan beberapa langkah, mulai dari pemuliaan varietas padi yang lebih sedikit menyerap arsenik, pengelolaan air sawah dengan sistem pengeringan berkala agar oksigen kembali ke tanah, hingga pemrosesan pascapanen dan metode memasak yang dapat menurunkan kadar arsenik pada nasi.
"Studi kami menegaskan adanya kebutuhan mendesak untuk mengurangi paparan arsenik pada beras, terutama karena perubahan iklim terus memengaruhi ketahanan pangan global," jelas Dr. Ziska.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Teknologi Medis, Kunci Efisiensi Biaya Layanan Kesehatan RI
