Perang China-AS Makin Panas, Ternyata Ada Peluang Besar Buat RI

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
14 July 2025 18:25
Ilustrasi data center. (Dok. Piaxabay)
Foto: Ilustrasi data center. (Dok. Piaxabay)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China, khususnya di sektor teknologi dan telekomunikasi, makin memanas. Namun, di tengah perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia ini, Indonesia justru berpotensi menjadi pihak yang diuntungkan.

Menurut Pratama Dahlian Persadha, pakar keamanan siber sekaligus Ketua Umum Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center), perang dagang yang berlangsung saat ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk membangun ekosistem teknologi yang lebih terbuka.

"Negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, serta sejumlah negara di benua Afrika tengah menyaksikan lonjakan prospek industri ini, didorong oleh tingkat adopsi digital yang masih rendah namun tumbuh pesat," ujar Pratama kepada CNBC Indonesia, Senin (16/7/2025).

Namun, kemajuan seperti implementasi teknologi 5G bukan semata-mata tentang kecepatan jaringan, melainkan telah menjadi bagian dari kontestasi kekuatan global yang bersaing dalam menguasai infrastruktur digital dan kontrol atas arus informasi.

Dalam hal ini, persaingan antara Amerika Serikat dan China menggambarkan dinamika tersebut secara nyata.

Di satu pihak, China menggelontorkan investasi besar dalam pengembangan 5G dan mengandalkan dominasi perusahaan seperti Huawei, yang justru memicu kekhawatiran di banyak negara Barat.

Kekhawatiran ini muncul dari kemungkinan infrastruktur yang dibangun digunakan untuk keperluan intelijen dan pengawasan, mengingat peraturan pemerintah China yang memungkinkan negara meminta data dari perusahaan dalam negeri.

"Sebagai respons, AS dan sekutunya mendorong penggunaan penyedia alternatif seperti Nokia, Ericsson, atau pendekatan berbasis Open RAN sebagai bentuk strategi penyeimbang pengaruh global," jelas Pratama.

Selain aspek politik, ketegangan antara AS dan China juga berimbas langsung pada perilaku pasar, khususnya para investor di sektor teknologi. Volatilitas pasar meningkat tajam setiap kali ada pengumuman sanksi atau larangan baru, terutama yang menyasar perusahaan semikonduktor atau vendor teknologi besar seperti Huawei.

Namun, menurutnya, agar potensi tersebut bisa dioptimalkan, Indonesia harus mempercepat adopsi teknologi berbasis standar terbuka seperti Open RAN, serta memperkuat peran lembaga pengawas independen guna memastikan keamanan dan transparansi jaringan.

"Secara khusus di Indonesia, para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun pelaku industri, harus bergerak cepat dalam mengimplementasikan teknologi yang lebih terbuka dan fleksibel seperti Open RAN," terangnya.

Selain itu, pelibatan beragam vendor akan mengurangi ketergantungan terhadap satu penyedia dan memperbesar ruang gerak diplomatik Indonesia dalam peta kompetisi global.

"Langkah-langkah ini akan mendukung terbangunnya ekosistem digital yang tangguh, adil, dan mampu beradaptasi di tengah ketidakpastian dunia," pungkasnya.

Dalam tulisan opini di CNBC IndonesiaAmar Bilhaq, Manager of Human Capital Management di PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM) menyatakan ketegangan geopolitik membuka peluang besar buat Telkom.

Dia menilai skandal spionase dan kekhawatiran privasi global telah membuat pemerintah dan korporasi baik domestik maupun multinasional semakin waspada dalam menempatkan data mereka. Dampaknya, menyimpan data sensitif warga negara atau data strategis perusahaan di cloud server milik raksasa teknologi AS atau China kini dipandang berisiko tinggi.

"Di sinilah posisi Telkom sebagai BUMN menjadi kartu truf. Melalui anak usahanya seperti Telkomsigma dan bisnis data center NeutraDC, Telkom adalah kandidat utama untuk menjadi 'benteng pertahanan' data nasional. Mereka menawarkan netralitas dan kepercayaan yang tidak dimiliki pemain asing," katanya.

Amar menyatakan ini adalah saat peralihan dari bisnis konektivitas B2C (Business-to-Consumer) yang berdarah-darah ke bisnis B2B (Business-to-Business) dan B2G (Business-to-Government) yang lebih stabil dan menguntungkan.


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Telkom Catat Pendapatan Konsolidasi Rp 150 T Sepanjang 2024

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular