Malaysia Rombak Total Internet, Ini Alasannya

Redaksi, CNBC Indonesia
10 December 2024 21:00
PUTRAJAYA, MALAYSIA - OCTOBER 13: Detail view of Malaysian flag in Perdana Putra, the office complex of the Prime Minister of in Putrajaya in the background prior to the 26th Le Tour de Langkawi 2022, Stage 3 a 124.2km stage from Putrajaya to Genting Highlands 1649m / #PETRONASLTdL2020 / on October 13, 2022 in Putrajaya, Malaysia. (Photo by Tim de Waele/Getty Images)
Foto: Bendera Malaysia di Perdana Putra, kompleks kantor Perdana Menteri di Putrajaya (Photo by Tim de Waele/Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota parlemen Malaysia mendukung perluasan kendali pemerintah terhadap pengelolaan internet di negaranya. Padahal, rancangan undang-undang (RUU) tersebut mendulang kritik karena dikhawatirkan menekan perbedaan dan kebebasan berpendapat.

Menteri Komunikasi Fahmi Fadzil mengatakan kepada Parlemen pada tanggal 9 Desember 2024 bahwa pemerintah perlu mengubah undang-undang (UU) yang ada untuk mengatasi dampak buruk online. Antara lain terkait penipuan, perundungan siber, pedofilia, dan pornografi anak.

"Kebebasan berpendapat memang ada, tapi kami juga diberi wewenang melalui Parlemen untuk menerapkan pembatasan apa pun yang diperlukan demi keselamatan masyarakat," kata Fahmi, dilaporkan Bloomberd, dikutip dari The Straits Times, Selasa (10/12/2024).

RUU ini menerapkan hukuman yang lebih ketat terhadap pelanggaran konten dan memberikan kewenangan luas kepada penegak hukum, seperti hak untuk menggeledah dan menyita tanpa surat perintah.

Penyedia layanan juga dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum, dan diwajibkan untuk mengungkapkan data pengguna kepada pihak berwenang selama penyelidikan dugaan pelanggaran.

Lebih dari 20 sesi konsultasi diadakan dengan pemangku kepentingan dalam penyusunan RUU tersebut, kata Fahmi.

Malaysia bergabung dengan upaya pemerintah di seluruh Asia untuk membatasi platform online dan meminta pertanggungjawaban perusahaan teknologi besar atas konten ilegal.

Dari Kuala Lumpur hingga New Delhi dan Canberra, para pejabat gencar mencari cara untuk mengatur atau membatasi media sosial, yang dapat memengaruhi opini publik mengenai isu-isu sensitif terkait politik.

Perusahaan-perusahaan teknologi besar, termasuk Meta, pernah mengatakan bahwa mereka mematuhi peraturan setempat. Namun, Meta berpendapat bahwa peraturan yang berlebihan membahayakan wacana publik dan memberikan beban yang tidak adil ke platform online.

Parlemen Malaysia memberikan suara 59-40 untuk mendukung RUU tersebut pada tanggal 9 Desember 2024. Hal ini menyusul perdebatan panjang mengenai perinciannya. Salah satunya terkait batasan yang dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Selain itu, perlu diperinci pula wewenang yang diberikan kepada pejabat berwenang untuk bertindak tanpa surat perintah. Seorang anggota parlemen abstain dalam pemungutan suara.

"Siapa petugas yang berwenang itu? Tidak ada penjelasannya. Apakah petugas antirasuah atau pegawai biasa?" kata Mas Ermieyati Samsudin, anggota parlemen dari partai oposisi Bersatu, dalam debat tersebut.

"Ini adalah kekuatan yang sangat besar," ia menuturkan.

Fahmi dalam tanggapannya mengatakan UU memperbolehkan menteri yang berwenang memberikan amanah kepada petugas. RUU tersebut akhirnya disahkan tanpa perubahan apa pun, dan akan dibawa ke Senat untuk disetujui.


(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]

Tags
Recommendation
Most Popular