Cerita Soeharto Resah Diprotes Duta Besar, RI Berubah Total
Jakarta, CNBC Indonesia - Telepon umum dulu menghiasi setiap sudut jalan di Indonesia. Fasilitas umum dengan warna biru yang khas tersebut ternyata berawal dari protes duta besar ke Soeharto, presiden kedua RI.
Saat awal Presiden Soeharto menjabat, jaringan telekomunikasi Indonesia masih buruk. Dalam perkembangannya, kondisi saat itu ternyata berhasil memperkenalkan teknologi baru di penjuru Indonesia.
Soeharto sudah lama menyadari masalah jaringan komunikasi di RI. Jaringan tersebut tidak menghubungkan satu daerah ke daerah lain.
Masalah ini berdampak pada lambatnya penerimaan perintah dari pemerintah pusat, termasuk Soeharto sendiri, kepada pejabat yang berada di daerah.
Pilihan Redaksi |
Bukan hanya itu, buruknya jaringan komunikasi di Indonesia juga berdampak ke negara lain. Duta besar negara sahabat protes karena kesulitan berkomunikasi dengan pemerintahnya, mereka harus pergi ke Singapura lebih dulu untuk bisa menelepon.
Soeharto menjanjikan untuk memprioritaskan pembangunan jaringan komunikasi. Hasilnya dua perusahaan hadir yakni Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel, cikal-bakal Telkom) dan PT. Indonesian Satellite (Indosat).
Perumtel bertugas untuk mengerjakan komunikasi dalam negeri. Sementara Indosat mengurus jaringan komunikasi ke luar negeri.
Salah satu yang muncul setelah pembangunan jaringan komunikasi adalah layanan telepon umum. Stasiun telepon pertama di Jakarta didirikan Telkom tahun 1980-an.
Telepon umum cukup mudah diakses, diletakkan di pinggiran jalanan serta pusat-pusat kerumuman. Telkom juga menyediakan dua jenis yakni pada Telepon Umum Coin (TUC) dan Telepon Umum Kartu (TUK).
Dalam perkembangannya juga muncul model baru telepon umum, Warung Telekomunikasi (Wartel). Ini adalah tempat dengan jumlah telepon mencapai 2 hingga 5 unit.
Pilihan Redaksi |
Telepon umum ini ternyata disukai banyak masyarakat. Ini membuat mereka tetap bisa berkomunikasi meski tidak mampu memasang telepon sendiri di rumahnya.
Keberadaan telepon umum pun terus disebar, dan tidak hanya di Jakarta namun juga telepon lain. Bahkan juga menjadi peluang bisnis baru dan membuka banyak pekerjaan baru.
"Pada 1992, jumlah seluruh telepon umum yang ada di Indonesia sebanyak 39.670. Pada 1994 telah mencapai 71.482. Lalu, pada tahun 2000 terdapat 305.222. Pertumbuhan telepon umum tersebut berpengaruh pada kepadatan sambungan telekomunikasi, dan pada akhirnya berdampak pada pendapatan PT. Telkom," tulis 50 tahun Peranan Pos & Telekomunikasi.
Kemudahan akses telepon pada tahun 2000-an membuat minat akan telepon umum juga mulai turun. Harga hanya sekitar Rp 200-700 ribu, berbeda dengan sebelumnya tahun 1990 yang mencapai Rp 507 juta.
Keberadaan ponsel juga kian menggerus telepon umum. Sejak saat itu, telepon umum mengalami kemunduran dan tinggal cerita karena disuntik mati oleh Telkom.
(dem/dem)