
Panas Mendidih Hujan Deras, Ini Penjelasan Kemarau Basah

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini sering terjadi hujan lebat di sebagian wilayah Indonesia. Padahal pada bulan Juli, Indonesia masih masuk ke dalam musim kemarau tahun 2023.
Ahli cuaca dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan ini adalah kemarau basah. Anomali iklim berupa kemarau basah tahun ini memiliki situasi yang sama pernah terjadi di Indonesia pada 2013.
"Anomali iklim berupa kemarau basah pada 2023 memiliki situasi yang mirip dengan kemarau pada 2013 (wow, persis 10th lalu). Yang membedakan, saat itu ENSO dan IOD netral. Namun penyebabnya mirip yaitu karena siklon/vorteks," tulis Peneliti Klimatologi di BRIN Erma Yulihastin di Twitter, dikutip Selasa (11/7/2023).
Karena hal tersebut, sejumlah daerah di Indonesia yang sudah memasuki musim kemarau tetap basah akibat hujan.
Misalnya, seperti pekan lalu, di mana cuaca ekstrem seperti ini melanda berbagai daerah, seperti Jabodetabek. Di tempat-tempat tersebut hujan terpantau lebat umumnya dimulai siang hingga sore.
"Hujan terpantau di Jabodetabek, yang merupakan aliran hujan dari Sumatra. Pengaruh vorteks Samudra Hindia dapat menciptakan kemarau basah," ujar dia.
Menurut Erma, ia pertama kali memperkenalkan kepada publik istilah kemarau basah pada 2008. Sejak saat itu, ia selalu mendokumentasikan kemarau basah di Indonesia dan menuliskan analisisnya di blog pribadinya. Namun, baru kali ini kemarau basah terjadi selama fase El Nino.
Sementara itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap gelombang atmosfer di khatulistiwa dan kondisi lokal menjadi pemicu hujan di akhir pekan pada musim kemarau ini.
Selain itu, El Nino, fenomena pemanasan suhu muka air laut di Samudera Pasifik juga memicu penurunan curah hujan global, dan mulai aktif bulan lalu. Lebih jauh, BMKG mengurai beberapa faktor jadi pemicu dominasi hujan periode ini.
Pertama, faktor global tak signifikan. Itu ditandai dengan Indeks Osilasi Selatan (SOI) nilainya +3.6, Indeks NINO 3.4 baru +0.94, dan Dipole Mode Index (DMI), yang merepresentasikan pemanasan suhu laut Samudera Hindia (IOD), bernilai -0.21.
Kedua, faktor regional. Gelombang atmosfer Madden Julian Oscillation (MJO) memang kurang berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.
"Namun, gangguan fenomena MJO secara spasial terpantau aktif di wilayah Samudera Hindia barat Aceh hingga Lampung, seluruh wilayah Indonesia kecuali Kalimantan Utara bagian utara, Papua Barat bagian utara, dan Papua," kata BMKG, dikutip dari CNN Indonesia.
Hal itu dinilai berpeluang menumbuhkan awan hujan di wilayah-wilayah yang terganggu itu.
Ada pula gelombang ekuator yang aktif terjadi di wilayah Indonesia yang memicu pertumbuhan awan hujan di daerah-daerah yang dilaluinya, yakni:
a. Gelombang Rossby Ekuator yang merambar ke arah barat melanda Samudera Hindia selatan Banten dan Jawa Barat, Papua, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan bagian timur.
b. Gelombang Kelvin yang mengalir ke arah timur terpantau melewati Aceh bagian selatan, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau, Kep. Bangka Belitung, Selat Malaka, Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Natuna Utara, Kalimantan Barat bagian barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
c. Gelombang dengan Low Frequency yang cenderung persisten mencakup wilayah Laut Sulu dan Filipina bagian selatan.
BMKG juga menyebut faktor wilayah pertemuan beberapa gelombang bisa memicu hujan.
"Kombinasi antara MJO, gelombang tipe Low Frequency, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuator pada wilayah dan periode yang sama, dapat meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut," kata BMKG.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hujan Deras Rutin Guyur RI, BRIN: Puncaknya Belum Berakhir!