Warga Susah Bayar Utang Pay Later, Tetangga RI Ambil Tindakan

Demis Rizky Gosta, CNBC Indonesia
Senin, 22/05/2023 12:40 WIB
Foto: Ilustrasi Buy Now Pay Later

Jakarta, CNBC Indonesia - Warga negara tetangga RI, Australia, ternyata banyak yang kesulitan membayar utang ke layanan buy now pay later (BNPL). Karena itu, pemerintah Australia bakal mengatur ketat layanan pay later.

Pemerintah Australia rencananya akan mewajibkan penyedia pay later di Negara Kangguru untuk memeriksa latar belakang calon peminjam sebelum menyetujui pembayaran. Menurut Reuters, aturan yang disiapkan Australia bakal menjadi salah satu regulasi paling ketat untuk industri pay later di dunia.

Perusahaan pay later besar di Australia, antara lain, adalah Afterplay milik pendiri Twitter Jack Dorsey, dan Zip Co.


Rencananya, industri pay later akan diawasi oleh Komisi Sekuritas dan Investasi Australia (ASIC). Selain Australia, negara yang memberlakukan pay later sebagai produk pinjaman adalah Inggris.

Penyedia pay later biasanya menawarkan pinjaman jangka pendek tanpa bunga di titik penjualan, seperti kasir dan laman pembayaran ecommerce. Pinjaman disalurkan tanpa pengecekan kredit terlebih dulu. Peminjam kemudian membayar langsung atau mencicil dalam jangka waktu beberapa pekan atau bulan.

Menurut Reuters, kebanyakan pengguna pay later adalah mereka yang tidak punya uang tunai dan seringkali menarik pinjaman yang mereka tak mampu bayar.

Karena pay later tidak mengenakan bunga, penyedia pay later bebas dari regulasi yang mengatur pinjaman konsumen. Industri pay later di Australia dan banyak negara lain tumbuh pesat terdorong oleh tren belanja online sepanjang pandemi, terbantu oleh kucuran dana bantuan Covid dari pemerintah dan suku bunga rendah.

Namun, selepas pandemi, banyak warga Australia yang terancam sulit membayar pinjaman karena tekanan inflasi. Inflasi di Australia saat ini ada di level paling tinggi dalam 30 tahun.

Pemerintah Australia menyatakan pay later harus diatur ketat dan ditempatkan sebagai produk pinjaman karena punya dampak yang sama ke peminjam.

"BNPL tampaknya seperti pinjaman, diterapkan seperti pinjaman, risikonya sama dengan pinjaman," kata Menteri Layanan Keuangan Australia Stephen Jones, Senin (22/5/2023). "Rencana kami mencegah pinjaman di salurkan ke mereka yang tidak mampu, tanpa menghentikan penggunaan pay later yang aman dan hati-hati [prudent]."

Saat ini, industri pay later Australia melayani 7 juta pengguna aktif. Nilai transaksinya mencapai 16 miliar dolar Australia (Rp 158 triliun) pada 2021-2022, naik 37 persen dari tahun sebelumnya.

Sekitar 26 persen dari warga Australia menyatakan mereka menggunakan pay later untuk pembelian online, yang nilainya mencapai 63,8 miliar dolar Australia (Rp 632 triliun) sepanjang 2022.

Perusahaan pay later mengambil keuntungan dari persentase nilai transaksi, yang dibebankan ke penjual. Ke peminjam, perusahaan pay later mengenakan biaya hanya jika ada keterlambatan bayar. Di sisi lain, pengguna yang tertib membayar sesuai tenggat bakal diberikan limit pinjaman yang lebih tinggi.


(dem)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Gak Cuma Biaya, Ini Penghambat Adopsi AI-Big Data di Fintech