Soeharto Resah, Telepon Umum Bermunculan di Penjuru RI!
Jakarta, CNBC Indonesia - Jauh sebelum jaringan komunikasi seperti saat ini, Indonesia pernah mengalami satu daerah ke daerah lainnya tidak saling terkoneksi. Inilah yang dialami saat awal kepemimpinan Presiden RI ke-2 Soeharto.
Karena keadaan komunikasi yang seperti itu, perintah Soeharto ke pejabat daerah menjadi lambat. Belum lagi para duta besar yang protes karena kesulitan berkomunikasi dengan pemerintah negara asal mereka.
Saat itu, para duta besar harus menempuh jalan jauh untuk hanya menghubungi negaranya. Mereka perlu di Singapura lebih dulu untuk bisa menelepon.
Soeharto akhirnya berjanji untuk memprioritaskan jaringan komunikasi di Indonesia. Ini terwujud melalui kehadiran dua perusahaan komunikasi, Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel yang menjadi awal dari Telkom) serta PT Indonesia Satellite (Indosat).
Tugas kedua perusahaan berbeda. Perumtel mengurusi komunikasi dalam negeri dan Indosat untuk jaringan ke luar negeri.
Akhirnya tahun 1970-an, Indonesia perlahan mulai terhubung dengan jaringan telepon. Masyarakat yang terpisah jarak tempat hingga duta besar sudah bisa berkomunikasi lebih mudah.
Keberhasilan pembangunan jaringan telepon membangkitkan keinginan masyarakat dan industri untuk punya fasilitas telepon secara pribadi. Ini berbeda dengan sebelumnya yang hanya dimiliki oleh pihak militer, pejabat dan kaum elite saja.
Namun keinginan itu tidak diwujudkan oleh pemerintah. Mereka akhirnya memutuskan untuk memberikan layanan telepon umum.
"Oleh sebab itu, pemerintah mengambil langkah dalam memenuhi kebutuhan sarana telekomunikasi masyarakat, yakni dengan memberikan layanan telepon umum," tulis Muhammad Jihad dalam Sejarah Telepon Umum: Pasang Surut Eksistensinya di Indonesia (2019).
Sejarah Telepon Umum dan Wartel
Keputusan itu menjadi tonggak sejarah kemunculan telepon umum bahkan layanan wartel atau warung telekomunikasi. Pada 1980-an, proyek telepon umum dipegang oleh Telkom yang mendirikan stasiun telepon pertama di Jakarta.
Telepon umum itu ditempatkan di pinggiran jalanan dan pusat-pusat kerumunan. Terdapat dua jenis, yakni menggunakan telepon umum coin (TUC) dan telepon umum kartu (tuk).
Berikutnya, Telkom membuat jenis telepon umum yakni wartel. Layanan ini menyediakan 2-5 telepon dalam satu tempat.
Ternyata keputusan membangun telepon umum disambut dengan animo tinggi masyarakat. Nampaknya menjadi jawaban bagi mereka yang tidak mampu memasang perangkat telepon di rumahnya.
Saat itu, banyak terlihat antrean di depan telepon umum. Masyarakat berusaha untuk tetap terhubung lewat layanan ini untuk menghubungi mereka yang berada di tempat yang jauh.
Berikutnya, telepon umum mulai muncul di luar Jakarta. Wartel pun jadi sebuah bisnis yang menjanjikan dan membuat lapangan kerja baru terbuka dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.
"Pada 1992, jumlah seluruh telepon umum yang ada di Indonesia sebanyak 39.670. Pada 1994 telah mencapai 71.482. Lalu, pada tahun 2000 terdapat 305.222. Pertumbuhan telepon umum tersebut berpengaruh pada kepadatan sambungan telekomunikasi, dan pada akhirnya berdampak pada pendapatan PT. Telkom," tulis 50 tahun Peranan Pos & Telekomunikasi.
Seiring berjalannya waktu, telepon umum mulai ditinggalkan. Tahun 2000-an, perangkat telepon mulai bisa diakses oleh lebih banyak masyarakat karena harganya murah.
Saat itu harganya berkisar Rp 200-700 ribu. Padahal tahun 1990-an, perangkat telepon dibanderol Rp 5-7 juta.
Bukan hanya telepon rumah, saat itu juga mulai bermunculan ponsel. Banyak orang yang menggunakannya dan juga menjadi penutup kejayaan telepon umum.
Saat ini telepon umum tinggal cerita. Layanan tersebut ditinggal masyarakat dan akhirnya disuntik mati oleh Telkom.
(tib)