Bos FTX Bebas Pakai Aset Nasabah, Semua Bursa Kripto Ga Aman?

Tim Riset, CNBC Indonesia
20 January 2023 09:50
Pendiri FTX Sam Bankman-Fried dibebaskan dengan jaminan US$250 juta (sekitar Rp 3,9 triliun) sambil menunggu persidangan atas penipuan dan tuduhan kriminal lainnya. (AFP via Getty Images/ED JONES)
Foto: Pendiri FTX Sam Bankman-Fried dibebaskan dengan jaminan US$250 juta (sekitar Rp 3,9 triliun) sambil menunggu persidangan atas penipuan dan tuduhan kriminal lainnya. (AFP via Getty Images/ED JONES)

Jakarta, CNBC Indonesia - Heboh kebangkrutan FTX, salah satu bursa kripto terbesar dunia menimbulkan pertanyaan besar. Jika pengelola bursa FTX sebegitu mudahnya menggunakan dana nasabah, apakah bursa kripto lain juga sama?

Awal mula krisis likuiditas yang membuat heboh investor adalah berasal dari situs berita kripto, CoinDesk pada 2 November lalu melaporkan adanya kebocoran balance sheet Alameda Research, perusahaan afiliasi FTX yang sangat bergantung pada token utilitas FTX, yakni FTX Token (FTT).

Alameda tidak hanya memiliki banyak FTT di neraca, tetapi juga telah menggunakan FTT sebagai jaminan pinjaman. Namun, manajemen FTX menyangkal hal ini.

Alhasil, krisis FTX ini membuat bursa kripto terbesar kedua di dunia tersebut pun akhirnya terancam bangkrut. Manajemen FTX pun telah mengajukan Kebangkrutan Chapter 11 pada Desember 2022.

Aset kripto menggunakan sistem desentralisasi. Sistem tidak punya otoritas pusat yang memiliki kekuatan berlebih yang dapat memengaruhi harga, sehingga semua orang dapat menjadi market movers atau penggerak kripto.

Di blockchain, sejatinya dikembangkan untuk sistem penyimpanan digital sendiri merupakan rantai blok urut yang kemudian dirangkai lalu didistribusikan bersama-sama.

Setiap blok terdiri atas buku besar (ledger) dan 3 elemen yaitu data, hash serta hash dari blok sebelumnya. Sementara jenis data yang ada pada teknologi blockchain disesuaikan dengan tujuannya, misalnya detail transaksi yang meliputi jumlah koin, pengirim, dan penerimanya.

Namun, layaknya suatu sistem, tentunya mempunyai kelemahan, yaitu kripto juga tidak luput dari sasaran kejahatan seperti pencurian, peretasan, atau lainnya.

Bahkan, kelemahan sistem ini dapat dimanfaatkan oleh sang developer kripto yang tidak bertanggung jawab. Sang developer dapat saja menggunakan dana investor untuk sekadar memperkaya dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan bersama. Hal ini sudah terjadi di FTX.

Di Indonesia, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat total pelanggan terdaftar aset kripto naik dari 11,2 juta pada 2021 menjadi 16,55 juta pada 2022.

Tetapi, nilai transaksi aset kripto pada 2022 kian menurun. Sepanjang Januari hingga November 2022, nilai transaksi aset kripto mencapai Rp 296,66 triliun. Angka tersebut turun dari Rp 859,4 triliun pada 2021.

"Artinya ada penurunan yang lebih dari 50 persen," ujar Kepala Bappebti, Didid Noordiatmoko.

Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan nilai transaksi di saham RI pada tahun 2022. Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), Rata - Rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) tercatat Rp 14,7 triliun, naik 10% dibandingkan posisi akhir tahun lalu yakni Rp13,4 triliun.

Selain nilai transaksi, popularitas aset kripto juga menurun. Bahkan ia memprediksi pada 2023 akan terjadi crypto winter yang luar biasa. Didi merujuk pada data dari Statista Global Consumer Survey.

Berdasarkan survei tersebut, jumlah penduduk Amerika Serikat (AS) yang sudah berinvestasi pada aset kripto sebanyak 18%, namun total penduduk yang berencana melanjutkan investasinya hanya 15%. Padahal sebelumnya pada tahun 2020, popularitas pemilik aset kripto naik, dari 8% menjadi 11%.

Kasus kejatuhan Terra hingga kegagalan FTX telah membuat banyak pihak percaya bahwa aset kripto memiliki tingkat risiko yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis investasi lainnya, sehingga harus diatur oleh regulator untuk menjamin keamanan dana nasabah.

Meski banyak yang menginginkan kripto perlu diawasi, tetapi bagi mereka yang menjadi penganut 'garis keras' kripto, tidak setuju kripto perlu diawasi. Hal ini karena mereka khawatir bahwa otoritas nantinya dapat mengintervensi kripto itu sendiri.

Terlepas dari perdebatan tersebut, sejatinya banyak pihak, terutama investor institusi yang ingin berinvestasi di kripto beranggapan bahwa kripto juga perlu ada lembaga kustodian. Diketahui bahwa banyak sekali investor institusi yang cukup berminat untuk berinvestasi di bisnis kripto.

Namun, mereka terpaksa masih harus menahan diri lantaran sejumlah infrastruktur di dalam industrinya dinilai belum memadai, sehingga kurang memenuhi azas prudensialitas sebuah aktivitas investasi. Salah satunya adalah dengan belum adanya fungsi kustodian dalam aktivitas berinvestasi kripto.

Sebagai informasi saja, kustodian atau bank kustodian adalah sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk mengamankan aset keuangan dari satu perusahaan atau perorangan.

Kustodian ini akan bertindak sebagai tempat penitipan kolektif aset perusahaan seperti saham, obligasi, dan lain-lain.

Oleh karena itu, kustodian juga perlu ada di kripto agar menciptakan keamanan dalam perdagangan aset kripto. Sehingga investor tidak khawatir jika di portofolio kriptonya akan hilang akibat adanya peretasan atau tindak kejahatan lainnya, karena sudah tersimpan beberapa di kustodian.

Di Indonesia, Bappebti hingga kini terus mengebut pembentukan bursa kripto, lembaga kustodian, dan lembaga kliring yang dipercaya akan memperkuat ekosistem aset digital di Tanah Air.

Adapun rencana pembentukan ketiga entitas baru yang akan menaungi pelaku usaha di bidang aset digital ini dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi investor saat bertransaksi aset digital.

Pasar kripto hingga kini masih belum sepenuhnya pulih seperti pada tahun 2021, karena tren investasi kripto cenderung meredup sejak banyaknya kasus yang membuat jatuh.

Meski pada perdagangan Jumat (13/1/2023) hari ini pergerakan cenderung cerah, tetapi masih cukup jauh untuk menggapai posisi psikologis pada awal tahun 2022.

Di Bitcoin saja, yang merupakan kripto terbesar di dunia, pada hari ini berhasil rebound ke level psikologis US$ 18.000, setelah bertahan cukup lama di level psikologis US$ 16.000, yakni sepanjang Desember 2022.

Meski sudah menguat, tetapi Bitcoin hingga kini belum mampu kembali ke level psikologis US$ 20.000.

Tak hanya Bitcoin saja, Ethereum, koin digital (token) terbesar kedua juga mulai pulih, meski masih cukup jauh untuk menggapai level psikologis US$ 2.000.

Sepanjang Desember 2022, Ethereum bertahan di kisaran level US$ 1.200. Adapun Ethereum menyentuh level psikologis US$ 2.000 terakhir di Mei 2022.


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bandar Kripto FTX Bangkrut, Valuasi Rp 501 Triliun Musnah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular