Disebut Racik Covid Varian Baru di Lab, Peneliti Buka Suara

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
31 October 2022 09:10
Ilustrasi Covid-19 (Photo by CDC on Unsplash)
Foto: Ilustrasi Covid-19 (Photo by CDC on Unsplash)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ilmuwan dari Boston University membantah tuduhan bahwa mereka menciptakan Covid mematikan di laboratorium.

Sebelumnya banyak beredar kabar bahwa penelitian di National Emerging Infectious Diseases Laboratories (NEIDL), menciptakan jenis Covid dengan tingkat kematian mencapai 80 persen.

Laporan itu pertama kali muncul di Daily Mail dan outlet media lain termasuk Fox News.

Dalam sebuah pernyataan, ilmuwan menyebut pemberitaan di media salah dan tidak akurat, dan mengatakan penelitian ini virus yang mereka lakukan tidak berbahaya.

Universitas juga menyatakan penelitian tersebut telah ditinjau dan disetujui oleh Institutional Biosafety Committee (IBC), yang terdiri dari ilmuwan serta anggota masyarakat setempat, dan bahwa Komisi Kesehatan Masyarakat Boston telah menyetujui penelitian tersebut.

"Mereka telah membuat pesan sensasional, mereka salah menggambarkan penelitian dan tujuannya secara keseluruhan," kata Ronald B. Corley, direktur NEIDL dan ketua mikrobiologi Fakultas Kedokteran BU Chobanian & Avedisian, dikutip dari laman resmi universitas, Senin (31/10/2022).

Studi dibuat dengan tujuan untuk memeriksa protein spike (duri) pada varian Omicron SARS-CoV-2 (BA.1). Para peneliti tertarik untuk membandingkan varian dengan strain virus asli, yang dikenal sebagai strain Washington.

Mereka ingin mengetahui apakah strain terbaru tidak menyebabkan penyakit parah hanya karena virus itu tidak menginfeksi sel yang sama dengan strain sebelumnya. Mereka tertarik pada bagian dari virus yang menentukan seberapa serius penyakit yang akan diderita seseorang.

"Penelitian ini menunjukkan bukan protein spike yang membuat Omicron lebih menular, tetapi protein virus lainnya. Menentukan protein apa, akan membantu memperbaiki diagnosis dan strategi pengelolaan wabah," kata Mohsan Saeed, profesor biokimia di Boston University.

Pertama, dia menegaskan bahwa penelitian ini bukan penelitian gain-of-function, artinya tidak memperkuat strain virus SARS-CoV-2 negara bagian Washington atau membuatnya lebih berbahaya. Faktanya, penelitian ini membuat virus bereplikasi menjadi kurang berbahaya.

Corley mengatakan garis yang ditarik keluar dari konteks sebenarnya tidak ada hubungannya dengan efek virus pada manusia. Studi dimulai pada kultur jaringan, kemudian pindah ke subjek hewan.

Adapun model hewan yang digunakan adalah jenis tikus tertentu yang sangat rentan, dan 80 persen hingga 100 persen tikus yang terinfeksi meninggal karena penyakit dari jenis aslinya, yang disebut jenis Washington.

"Padahal Omicron menyebabkan penyakit yang sangat ringan pada hewan-hewan ini." ungkapnya.


(dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Covid Ternyata Serang Otak, Mata, hingga Ginjal Manusia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular