Pelajari Risikonya Maka Anda Bisa Untung Jadi Lender Fintech

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
17 September 2019 18:06
Kehadiran aplikasi pinjaman online alias fintech peer to peer lending (P2P) memiliki dua fungsi bagi masyarakat.
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia- Kehadiran aplikasi pinjaman online alias fintech peer to peer lending (P2P) memiliki dua fungsi bagi masyarakat. Pertama, fintech lending bisa menjadi solusi bagi pembiayaan bagi usaha yang belum tersentuh bank alias unbankable.

Kedua, kehadiran fintech juga menjadi kesempatan investasi dari sisi pemberi dana alias lender. Namun, sama seperti produk investasi lainnya, menjadi lender juga memiliki risiko yang harus dipelajari dan dipahami sebelumnya.

Wakil Ketua Eksekutif Fintech Pendanaan Produktif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Victoria Tahir mengatakan investasi di fintech lending bisa menjadi alternatif investasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Selain ini jenis investasi ini tidak berhubungan dengan volatilitas pergerakan saham.

"Investasi di fintech lending pasti lebih tinggi dibandingkan bunga deposito. Di Pohon Dana misalnya, funders kami mendapatkan imbal hasil rata-rata 12% per tahun bersih," kata Victoria saat dihubungi CNBC Indonesia, belum lama ini.


Beberapa fintech lending lain yang menawarkan bunga tinggi misalnya Investree yang menjanjikan bunga imbal hasil sekitar 14-20% per tahun, Mekar 7,18-9% per tahun, Amartha sekitar 15% per tahun, dan Toko Modal sekitar 16% per tahun.

Meski demikian dia mengakui setiap investasi pasti mengandung risiko, termasuk juga di fintech lending. Untuk itu penting bagi lender untuk memastikan reputasi dari perusahaan fintech yang akan dimasuki. Victoria mengatakan prosedur investasi di fintech lending sudah aman. Regulator juga telah menerapkan escrow account wajib untuk meminimalisasi risiko fraud.

"Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan, misalnya apakah pinjaman itu aman atau tidak. Pinjaman yang tidak aman pasti lebih berisiko, dibandingkan pinjaman aman dengan penawaran bunga yang lebih rendah," katanya.

Victoria juga menekankan pentingnya memeriksa reputasi dari platform fintech untuk memetakan risiko, jika suatu saat platform tersebut gagal. Terkait keuntungan, jangan tergoda bahwa investasi fintech itu pasti mendapatkan keuntungan yang besar.

"Anda perlu melakukan riset dan memastikan anda paham dengan yang diinvestasikan sehingga tidak akan kehilangan uang," ujar Victoria.
Dia menekankan lebih baik investasi dengan tingkat bunga 10-15% dan nyaman dengan keamanan, dibandingkan mengambil risiko untuk bunga lebih dari 20%.

Pelajari Risikonya Maka Anda Bisa Untung Jadi Lender FintechFoto: Aristya Rahadian Krisabella


Head of Research and Development Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero mengatakan sebelum investasi para lender perlu memastikan apakah fintech lending tersebut telah terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika tidak terdaftar maka lender pun disarankan untuk tidak menempatkan dana di sana.

"Jangan sampai uangnya dibawa lari, dan lihat bunga yang dijanjikan rasional atau tidak. Kalau kita mau minjemin uang ke orang, pikirkan lagi yakin tidak sama orangnya," kata Poltak kepada CNBC Indonesia belum lama ini.

Identifikasi paling mudah menurut dia bisa dilihat dari bunga yang dijanjikan, apakah masih wajar atau patut dipertanyakan. Beberapa fintech yang sudah terdaftar di OJK rata-rata menjanjikan bunga per tahun tidak lebih dari 20%. Perlu juga diperhatikan apakah pinjaman yang digelontorkan fintech lending tersebut bersifat produktif atau konsumtif.

Fintech lending yang bersifat produktif risikonya cenderung bisa terukur, karena mereka memiliki cashflow sehingga risiko gagal bayar bisa diminimalisir. Lain halnya dengan pinjaman yang bersifat konsumtif, tentunya memiliki risiko yang lebih tinggi.

"Namanya bisnis kan pasti bisa diestimasikan, tempat dagangnya, pendapatannya, dia tidak bisa tiba2 pindah. Makanya kalau fintech lending kesana (produktif) terjamin bisa terbayar. Kalau individu risikonya tinggi, bisa identitas palsu atau pindah rumah," jelas Poltak.

Selain itu, lender juga harus memastikan keberadaan dari fintech lending tersebut, misalnya kebenaran alamat kantornya.

"Jangan cuma di internet fisiknya tidak ada, nanti dia kabur. Dari peminjam dan pemberi pinjaman harus teliti dan hati-hati," ujarnya.

Menurut dia, investor Indonesia bisa belajar dari China. Di negara tersebut, fintech berlomba-lomba memberikan bunga tinggi kepada lender agar menarik perhatian. Investor di sana pun mudah berpaling pada fintech yang berani menjanjikan bunga tinggi, meski tidak wajar. Akhirnya hal ini berdampak negatif pada konsumen yang terbebani bunga sangat tinggi.

"Jadi mereka berkompetisi dan tidak ada regulasi, yang ngasih pinjam tidak setia, yang dipinjamin lama-lama berat karena bunganya naik. itu yang kemudian jadi masalah," kata Poltak.


Fintech lending merupakan salah satu solusi dari inklusi keuangan di Indonesia yang masih rendah dibanding dengan rata-rata negara di Asia Timur dan pasifik. Berdasarkan data World Bank Global Findex 2017, orang dewasa di Indonesia yang telah memiliki rekening baru mencapai 48,9%. Angka ini terbilang rendah, dibanding negara di Asia Timur dan Pasifik yang mencapai 70,6%.

Padahal, pemerintah menargetkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia bisa meningkat sampai 75%. Dengan demikian, harus dibuat berbagai layanan keuangan yang bersinergi dengan lembaga non keuangan termasuk fintech ini.

Sementara itu, industri fintech terbukti tumbuh dengan pesat. Hingga Juli 2019, industri ini telah menyalurkan pinjaman Rp 49,79 triliun atau meningkat 119,69% dibandingkan akhir 2018 lalu.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran pinjaman ini dilakukan oleh 127 fintech lending yang terdiri dari 119 fintech konvensional dan 8 fintech syariah. OJK juga mencatat tingkat keberhasilan bayar selama 90 hari (TKB90) berada di kisaran 97,48%. Artinya hanya 2,52% pinjaman yang gagal bayar.



(dob/dob) Next Article OJK Imbau Fintech Tak Sembarang Pilih Lokasi Kantor, Kenapa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular