MARKET DATA

Ada Long Weekend, Rupiah Loyo Pekan Ini

Susi Setiawati,  CNBC Indonesia
25 December 2025 09:30
Ini Peta Kekuatan Mata Uang ASEAN Usai Krisis 1998: Rupiah Kalah Telak
Foto: Infografis/ Ini Peta Kekuatan Mata Uang ASEAN Usai Krisis 1998: Rupiah Kalah Telak/ Ilham Restu

Jakarta,CNBC Indonesia - Pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pendek pekan ini tetap kurang bergairah.

Pada perdagangan Rabu (24/12/2025), rupiah terhadap dolar AS menguat 0,09% di level Rp16.750/US$1. Namun sayangnya dalam sepekan, pergerakan rupiah terhadap dolar AS masih melemah 0,09%.

Sementara itu, pergerakan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mayoritas ditutup menguat sepanjang perdagangan kemarin Rabu (24/12/2025).

Won Korea Selatan memimpin penguatan nilai tukar lebih dari 1,7% terhadap dolar AS. Ini menjadikan Won mata uang paling kuat diantara negara di kawasan Asia lain yang cenderung menguat terbatas terhadap greenback.

Tepat di bawah Korea Selatan, ada Ringgit Malaysia yang menguat sekitar 0,37%, lalu disusul Bath Thailand yang merangkak naik 0,26%.

Selanjutnya, ada Yen Jepang, Yuan China, Dolar Taiwan dan Singapura dengan penguatan 0,12% - 1,19%. Sisanya, Rupiah Indonesia, Peso Filipina, dan Dong Vietnam dengan penguatan tipis di bawah 0,1%.

Sementara, di zona koreksi hanya ada Rupee India yang terpantau loyo 0,41% di hadapan dolar AS.

Mayoritas penguatan mata uang Asia terdorong oleh pelemahan indeks dolar AS (DXY) selama tiga hari beruntun ke level 97.

Pelemahan dolar AS tak lepas dari ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) ke depan. Pelaku pasar saat ini memperkirakan The Fed masih akan melanjutkan siklus pelonggaran kebijakan, dengan total pemangkasan suku bunga sekitar 50 basis poin sepanjang 2026.

Ekspektasi tersebut membuat daya tarik aset berdenominasi dolar AS cenderung melemah. Tekanan terhadap dolar AS juga datang dari langkah The Fed yang kembali meningkatkan likuiditas di sistem keuangan.

Sejak pertengahan Desember, bank sentral AS mulai melakukan pembelian US Treasury Bills senilai US$40 miliar per bulan, yang dipandang pasar sebagai sinyal kebijakan moneter yang lebih akomodatif dan cenderung membebani pergerakan dolar.

Sentimen pelemahan dolar juga diperkuat oleh pernyataan pejabat The Fed. Gubernur The Fed Stephen Miran pada Senin kemarin menyatakan bahwa kegagalan menurunkan suku bunga berisiko meningkatkan peluang perlambatan ekonomi, meskipun ia menegaskan tidak melihat potensi resesi dalam waktu dekat.

Pernyataan tersebut semakin memperkuat ekspektasi pasar akan arah kebijakan moneter yang lebih longgar.

Saat ini, pasar memperkirakan peluang sekitar 20% bagi Federal Open Market Committee untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada pertemuan 27-28 Januari 2026. Kombinasi faktor tersebut membuat dolar AS bergerak di bawah tekanan.

Pelemahan dolar AS ini mendorong pelaku pasar mulai mengurangi eksposur pada aset berdenominasi dolar dan kembali mencari peluang di aset berisiko. Kondisi tersebut membuka ruang terjadinya aliran dana ke pasar negara berkembang (emerging markets), termasuk ke Asia.

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)



Most Popular