Mengapa Free Float Kini Menentukan Nasib Saham di MSCI?
Jakarta, CNBC Indonesia - Di pasar modal, indikator likuiditas sebuah saham sering kali menjadi penentu utama minat investor institusi. Salah satu metrik yang paling diperhatikan adalah Free Float, yang mencerminkan porsi saham yang benar-benar tersedia untuk diperdagangkan oleh publik.
Bagi emiten besar di Indonesia, menjaga dan meningkatkan porsi Free Float bukan sekadar memenuhi regulasi, melainkan langkah strategis untuk menarik arus modal asing melalui indeks global.
Apa Itu Free Float?
Secara definisi, Free Float adalah jumlah saham yang benar-benar dimiliki oleh publik (investor tidak terafiliasi) dan siap diperdagangkan kapan saja di pasar reguler.
Ini bukan sekadar saham yang tidak dipegang oleh direksi. Dalam kacamata modern, Free Float harus bersih dari kepemilikan Pengendali, Treasury Stock, dan saham yang sedang dalam status Lock-up.
Bayangkan sebuah emiten memiliki 1 miliar lembar saham. Jika 800 juta lembar dipegang oleh Founder dan Strategic Partner yang tidak berniat jualan, maka barang yang tersedia untuk diperebutkan pasar hanya 200 juta lembar. Itulah Free Float yang menciptakan likuiditas harian. Tanpa ini, pasar menjadi kaku dan rentan manipulasi.
Aturan Main Regulator (OJK & BEI)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku regulator menetapkan standar Free Float sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas pasar. Berdasarkan Peraturan Bursa No. I-A, setiap perusahaan tercatat diwajibkan memiliki porsi saham publik minimal 7,5% dari total saham beredar.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa pasar memiliki kedalaman yang cukup sehingga harga saham terbentuk secara murni melalui mekanisme pasar, bukan karena manipulasi oleh segelintir pihak.
Emiten yang gagal memenuhi ambang batas ini secara konsisten akan menghadapi konsekuensi berat, mulai dari sanksi administratif, suspensi perdagangan, hingga dimasukkan ke dalam Papan Pemantauan Khusus (FCA).
Dalam skenario terburuk, ketidakpatuhan terhadap aturan Free Float dapat menyebabkan perusahaan dipaksa keluar dari bursa (delisting).
Foto: (Tangkapan Layar Youtube)Ketua Dewan Komisioner OJK , Mahendra Siregar di Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2024 (Tangkapan Layar Youtube) |
Mengapa Emiten Terobsesi Mengejar Free Float?
Selain sekadar menghindari sanksi regulator, emiten punya insentif finansial yang sangat pragmatis untuk memperbesar porsi publik ini.
Alasan utamanya adalah Diskon Pajak. Pemerintah memberikan insentif penurunan tarif PPh Badan sebesar 3% (dari 22% menjadi 19%) bagi emiten yang memiliki saham publik minimal 40%. Bagi perusahaan dengan laba triliunan rupiah seperti bank Big Caps atau konglomerasi, potongan 3% ini setara dengan penghematan ratusan miliar rupiah per tahun.
Selain itu, emiten sadar bahwa Big Fund butuh pintu masuk yang besar. Investor institusi tidak akan membeli saham yang tidak likuid karena mereka akan kesulitan saat mau Exit. Jadi, menaikkan Free Float adalah cara emiten menyampaikan pesan ke pasar bahwa "Silakan masuk, likuiditas kami cukup untuk menampung dana investasi kalian."
MSCIÂ Dan Transparansi KSEIÂ dan Foreign Room
Berbeda dengan standar regulator domestik yang lebih fokus pada angka persentase administratif, MSCI (Morgan Stanley Capital International) memandang Free Float sebagai indikator utama kemudahan investasi (investability).
Memasuki tahun 2025, MSCI menerapkan kebijakan yang jauh lebih ketat untuk pasar Indonesia dengan melakukan integrasi data secara langsung melalui KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia).
MSCI kini mampu mendeteksi apakah saham publik tersebut benar-benar tersebar di tangan investor independen atau sekadar "dititipkan" pada akun-akun tertentu (nominee) yang sebenarnya masih berafiliasi dengan pengendali.
Selain transparansi pemilik, MSCI juga sangat memperhatikan Foreign Room, yakni ketersediaan sisa kuota bagi investor asing untuk membeli saham tersebut.
Jika sebuah saham memiliki porsi publik yang secara angka besar namun secara praktis sulit diakses oleh asing karena batasan regulasi atau kepemilikan yang terkonsentrasi, MSCI tidak akan ragu untuk memangkas bobot saham tersebut dalam indeks mereka, yang seringkali memicu outflow secara masif.
Perusahaan yang Mengejar Free Float MSCI
Berdasarkan data terbaru, berikut adalah daftar emiten dengan nilai Free Float Market Cap yang signifikan:
Analisis Potensi Indeks:
-
PTRO, BUMI, dan EMTK (Target: MSCI Global Standard Index):
Ketiga emiten ini memiliki nilai di atas Rp 20 triliun, yang merupakan ambang batas kuat untuk masuk atau bertahan di MSCI Global Standard Index (kasta tertinggi). Namun, tantangannya adalah transparansi. PTRO dan BUMI harus membuktikan lewat data KSEI bahwa kepemilikan publik mereka benar-benar tersebar agar mendapat bobot maksimal dari MSCI.
-
ENRG dan VKTR (Target: MSCI Global Small Cap Index):
Dengan nilai di kisaran Rp 14 triliun, kedua emiten ini adalah kandidat kuat untuk menjadi penggerak utama di MSCI Global Small Cap Index. Posisi mereka sangat strategis untuk menarik investor asing yang mencari eksposur di sektor energi dan ekosistem kendaraan listrik. Jika harga saham naik konsisten, mereka berpeluang naik kelas ke Standard Index.
-
RAJA (Target: MSCI Global Small Cap Index):
Nilai Rp 6,4 triliun menempatkan RAJA dalam radar MSCI Global Small Cap Index. Fokus utama bagi RAJA adalah menjaga stabilitas volume transaksi harian. MSCI mensyaratkan saham harus aktif diperdagangkan secara konsisten sebelum resmi dimasukkan ke dalam indeks.
-
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)
Foto: (Tangkapan Layar Youtube)