Vietnam Berambisi Jadi Raja Pisang ASEAN, RI Sibuk Dimakan Sendiri
Jakarta, CNBC Indonesia- Pisang kerap dipandang sebagai komoditas "biasa", namun dinamika global justru menunjukkan sebaliknya.
Melansir dari Vineexpress, Vietnam mulai terbuka menyebut ambisi pisang sebagai komoditas ekspor bernilai US$1 miliar atau sekitar Rp 16,71 triliun (US$1=16.790) ditopang restrukturisasi produksi, penguatan rantai nilai, dan pembukaan pasar.
Di sisi lain, Indonesia, produsen pisang besar dunia, masih berkutat pada pasar domestik, dengan ekspor yang relatif kecil dibanding kapasitas produksinya.
Vietnam saat ini memproduksi sekitar 2,7-2,8 juta ton pisang per tahun, dengan nilai ekspor 2024 sekitar US$372-378 juta.
Angka yang memang belum besar, namun arah kebijakan mereka jelas terlihat, pisang diposisikan sebagai komoditas strategis, lengkap dengan pengembangan varietas tahan penyakit, penguatan standar ekspor, dan integrasi pasar regional Asia.
Bandingkan dengan Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) produksi pisang nasional terus meningkat secara konsisten dalam lima tahun terakhir. Dari 7,28 juta ton pada 2019, produksi melonjak menjadi 9,33 juta ton pada 2023. Secara volume, Indonesia berada jauh di atas Vietnam dan termasuk salah satu produsen pisang terbesar di dunia.
Namun, produksi besar tidak otomatis berbanding lurus dengan kinerja ekspor. Melansir data dari satudata Kemendag, sepanjang Januari-Oktober 2025, nilai ekspor pisang Indonesia hanya mencapai US$11,77 juta, meskipun tumbuh 35,68% secara tahunan. Angka ini menunjukkan perbaikan, tetapi tetap sangat kecil jika dibandingkan dengan total produksi nasional yang menembus jutaan ton.
Struktur ekspor pisang Indonesia juga masih sangat terbatas. Malaysia menjadi tujuan utama dengan nilai sekitar US$4,58 juta, disusul Jepang (US$2,07 juta) dan China (US$1,83 juta). Pasar Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, dan Qatar mulai muncul, namun volumenya masih sporadis dan belum membentuk basis permintaan yang stabil.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa pisang Indonesia masih berfungsi sebagai komoditas konsumsi domestik, bukan produk ekspor bernilai tinggi.
Sebagian besar produksi diserap pasar lokal dalam bentuk segar, dengan rantai pasok yang panjang dan minim standardisasi mutu, sehingga sulit menembus pasar premium global.
Vietnam justru bergerak sebaliknya. Meski produksi lebih kecil, negara tersebut fokus pada pisang ekspor berbasis varietas unggul, terutama untuk pasar China, Jepang, dan Korea Selatan.
Mereka secara terbuka mengakui tantangan penyakit Panama, namun menjadikannya pemicu inovasi-mulai dari pengembangan varietas tahan Fusarium hingga penguatan karantina dan traceability.
Indonesia sejatinya menghadapi tantangan serupa. Penyakit tanaman, inkonsistensi kualitas, serta lemahnya akses petani ke informasi pasar masih menjadi hambatan utama.
Selain itu, ekspor pisang Indonesia kerap terkendala standar residu pestisida, kemasan, dan kontinuitas pasokan-isu klasik yang belum terselesaikan secara struktural.
Padahal, jika dilihat dari sisi potensi ekonomi, ruang pertumbuhan Indonesia sangat besar. Dengan produksi di atas 9 juta ton per tahun, peningkatan ekspor hanya 1% dari total output saja sudah cukup untuk melipatgandakan nilai ekspor saat ini.
Artinya, masalah utama bukan pada kapasitas produksi, melainkan pada orientasi kebijakan dan desain rantai nilai.
Di titik inilah perbandingan dengan Vietnam menjadi relevan. Vietnam sudah mulai menempatkan pisang sebagai komoditas prioritas, sementara Indonesia masih memperlakukannya sebagai komoditas rakyat tanpa strategi ekspor jangka panjang
Tren 2025 sebenarnya memberi sinyal awal yang positif. Lonjakan ekspor ke China, Korea Selatan, dan Jepang menunjukkan bahwa pasar terbuka, asalkan kualitas dan kontinuitas terjaga.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)