Thailand-Kamboja Memanas: Ini Peta Kekuatan Militer & Sejarah Konflik
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan di Asia Tenggara kembali memanas setelah Thailand melancarkan serangan udara terhadap negara tetangganya Kamboja, Senin (8/12/2025).
Serangan ini menjadi eskalasi terbaru di sepanjang wilayah perbatasan yang selama ini disengketakan kedua negara, sekaligus menandai fase konflik yang kian terbuka dan berisiko meluas.
Juru bicara militer Thailand, Winthai Suvaree, menyebut serangan udara dilakukan sebagai respons atas tembakan pasukan Kamboja ke wilayah Thailand di Provinsi Ubon Ratchathani. Insiden tersebut menewaskan satu tentara Thailand dan melukai empat lainnya akibat serangan senjata api pendukung.
"Thailand telah mulai menggunakan pesawat untuk menyerang target militer di beberapa wilayah guna menekan serangan pasukan Kamboja," tegas Suvaree, dikutip AFP.
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan Kamboja mengonfirmasi bahwa pasukan Thailand melancarkan serangan ke wilayah perbatasan Preah Vihear dan Oddar Meanchey.
Phnom Penh menyatakan tidak melakukan serangan balasan. Akan tetapi, Thailand menyebut pasukan Kamboja menembakkan roket BM-21 ke wilayah sipil di Provinsi Buri Ram, tanpa ada korban jiwa yang dilaporkan.
Konflik kedua negara sejatinya telah berlangsung lama, namun eskalasi meningkat tajam sejak pertengahan 2025, meski upaya mediasi sempat digelar dalam rangkaian pertemuan ASEAN beberapa bulan sebelumnya.
Peta Kekuatan Militer Thailand vs Kamboja
Di tengah eskalasi konflik yang kembali memanas, peta kekuatan militer menunjukkan ketimpangan signifikan antara Thailand dan Kamboja.
Merujuk data Global Firepower, Thailand memiliki sekitar 360.850 personel tentara aktif, jauh di atas Kamboja yang memiliki sekitar 221.000 personel.
Keunggulan Thailand juga terlihat dari angkatan udaranya dibandingkan dengan Kamboja. Angkatan udara Thailand tercatat memiliki 72 pesawat tempur, sementara Kamboja tidak tercatat memiliki pesawat tempur sama sekali.
Kekuatan angkatan laut Thailand juga lebih kuat ketimbang Kamboja. Namun, untuk kekuatan angkatan darat, baik Thailand maupun Kamboja, keduanya memiliki keunggulan masing-masing, sehingga tidak ada yang lebih baik. Thailand memiliki keunggulan di kendaraan bersenjata dan artileri, sedangkan Kamboja unggul di jumlah tank dan kendaraan pembawa roket.
Dari anggaran militernya, Thailand tercatat sebesar US$5,9 miliar, sementara Kamboja tembus US$860 juta. Bila diubah ke kurs rupiah (asumsi kurs Rp16.685/US$) maka anggaran militer Thailand mencapai Rp98,45 triliun sementara Kamboja menembus Rp14,35 triliun.
Secara peringkat global, Thailand juga menempati peringkat 25 dari 145 negara, sementara Kamboja berada di peringkat 95.
Sejarah Panjang Konflik Thailand-Kamboja
Konflik antara Thailand dan Kamboja bukanlah persoalan baru. Hubungan kedua negara telah mengalami pasang surut selama puluhan tahun akibat sengketa perbatasan, dengan garis batas darat sepanjang lebih dari 800 kilometer yang hingga kini masih menyimpan banyak titik rawan.
Akar konflik modern berawal dari peta buatan Prancis tahun 1907, ketika Kamboja masih menjadi koloni. Peta tersebut dijadikan dasar klaim wilayah oleh Kamboja, namun ditolak oleh Thailand karena dinilai tidak akurat dan membuka ruang interpretasi berbeda.
Titik paling sensitif dalam konflik ini berada di sekitar Kuil Preah Vihear, situs berusia lebih dari 1.000 tahun yang terletak di Pegunungan Dângrêk, tepat di perbatasan kedua negara.
Kuil ini dibangun oleh Kekaisaran Khmer pada abad ke-9 hingga ke-12 Masehi dan didedikasikan untuk Dewa Siwa. Secara visual kuil menghadap ke wilayah Kamboja, namun secara akses fisik lebih mudah dijangkau dari wilayah Thailand. Kondisi ini menjadikan Preah Vihear sebagai simbol sejarah, nasionalisme, sekaligus instrumen geopolitik.
Pada 1962, Mahkamah Internasional atau International Court of Justice memutuskan bahwa kedaulatan atas Kuil Preah Vihear berada di tangan Kamboja. Putusan ini menjadi sumber gesekan utama dalam hubungan bilateral kedua negara.
Ketegangan kembali melonjak tajam pada 2008, ketika Kamboja berhasil mendaftarkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Langkah ini memicu demonstrasi, gejolak politik, serta serangkaian bentrokan bersenjata khas perang perbatasan.
Periode 2008-2011 menjadi fase salah satu yang paling berdarah. Artileri berat digunakan, belasan orang tewas, dan puluhan ribu warga sipil mengungsi dari rumah mereka. Kamboja kembali membawa kasus ini ke ICJ pada 2011, dan pada 2013, pengadilan kembali menegaskan bahwa wilayah sekitar Preah Vihear juga berada dalam yurisdiksi Kamboja.
Eskalasi 2025: Dari Baku Tembak hingga Serangan Udara
Memasuki 2025, konflik kembali memasuki fase baru yang lebih berbahaya. Pada Mei 2025, baku tembak singkat di wilayah sengketa menewaskan seorang tentara Kamboja. Insiden ini memicu kemarahan publik dan meningkatkan ketegangan politik di kedua negara.
Situasi memburuk drastis pada 23 Juli 2025, ketika sebuah ledakan ranjau darat membuat seorang tentara Thailand kehilangan kaki kanannya. Thailand merespons dengan menarik pulang duta besarnya dari Phnom Penh dan mengusir duta besar Kamboja dari Bangkok, yang secara efektif menurunkan hubungan diplomatik ke titik terendah.
Sehari setelahnya, 24 Juli 2025, militer Thailand mengonfirmasi telah mengerahkan jet tempur F-16 dan melakukan serangan udara ke wilayah Kamboja, menghancurkan sejumlah target militer.
Dalam dua hari konflik, setidaknya 16 korban jiwa dilaporkan, dengan 14 korban di Thailand (13 warga sipil dan satu tentara) serta satu korban tewas dan lima luka-luka di Kamboja. Bentrokan meluas ke 12 titik perbatasan, sementara lebih dari 100.000 warga Thailand dievakuasi dari empat provinsi ke hampir 300 titik pengungsian.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/luc)