Salem Witch Trials 1692: Krisis Ekonomi-Iklim Picu Perburuan Penyihir
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 1692, kota Salem di Massachusetts, Amerika Serikat, menjadi saksi salah satu episode paling kelam dalam sejarah Barat. Ratusan orang dipenjara, belasan dieksekusi mati, dan sebagian besar korbannya adalah perempuan yang dituduh sebagai penyihir tanpa dasar jelas.
Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Salem Witch Trials (Pengadilan Penyihir Salem) bukan sekadar kisah horor. Di balik tragedi yang menelan banyak korban jiwa ini, tersimpan dinamika ekonomi dan perebutan kekuasaan yang menguntungkan elite gereja pada masa itu.
Situasi tersebut diperparah oleh perubahan iklim yang memicu musim dingin ekstrem, gagal panen, dan ketidakstabilan pangan. Kondisi sosial yang tegang membuat masyarakat semakin mudah terseret kecemasan kolektif, yang pada akhirnya memperluas ruang kendali elite dan memperkuat histeria penyihir di Salem.
Korban Tak Bersalah: Perempuan di Tengah Ketidakadilan Sosial
Di masa Salem Witch Trials, korban tuduhan sihir sebagian besar adalah perempuan dengan posisi sosial yang lemah, seperti Sarah Good, seorang pengemis paruh baya, Tituba, budak perempuan asal Karibia, dan Sarah Osborne seorang janda tua. Tekanan sosial dan ketakutan memaksa Tituba membuat pengakuan palsu tentang bekerja sama dengan setan, bahkan menggambarkan sosoknya dalam berbagai bentuk, dari babi, anjing besar, hingga pria tinggi berpakaian hitam.
Pengakuan ini memicu kepanikan yang lebih parah di Salem, dan tak lama setelah itu lebih dari 150 orang lain ditahan dengan tuduhan penyihir. Drama sosial pun semakin rumit karena masyarakat saling menuduh satu sama lain. Tetangga menuduh tetangga, ibu menuduh anak, bahkan pendeta pun tidak luput dari tuduhan.
Dilansir dari Teen Vogue (2021), Emerson W. Baker, seorang profesor sejarah di Salem State University sekaligus penulis A Storm of Witchcraft: The Salem Trials and the American Experience, menyatakan bahwa tiga dari empat korban adalah perempuan. Sementara itu, laki-laki yang dituduh biasanya adalah saudara perempuan korban atau orang yang mencoba membela para perempuan tersebut.
Ekonomi, Politik, dan Perubahan Iklim di Balik Kepanikan Massal
Faktor iklim dan ekonomi menjadi salah satu pemicu utama histeria Salem. Emily Oster mencatat bahwa periode "Little Ice Age" antara 1550 hingga 1800 menyebabkan penurunan produksi pangan, kelaparan, penyebaran penyakit, dan tekanan ekonomi yang berat.
Periode terdingin, yakni 1680 sampai 1730, bertepatan langsung dengan Salem Witch Trials. Situasi ini memperburuk ketegangan sosial karena masyarakat yang sedang tertekan cenderung mencari kambing hitam. Perempuan, terutama yang miskin atau dianggap menyimpang dari standar sosial akhirnya menjadi target paling mudah untuk dikambing hitamkan.
Selain itu, konflik internal di Salem Village semakin memperkuat gelombang tuduhan. Desa ini merupakan komunitas agraris miskin yang kerap berbenturan dengan Salem Town yang lebih makmur. Paul Boyer dan Stephen Nissenbaum dalam Salem Possessed (1974) menunjukkan bahwa para penuduh umumnya berasal dari kelompok barat, yaitu kelompok agraris yang kurang sejahtera seperti keluarga Putnam dan sekutunya, sementara mereka yang dituduh justru banyak berasal dari kelompok timur yang berorientasi bisnis.
Tuduhan sihir kemudian berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan identitas komunitas, menegaskan batas kekuasaan, dan bahkan menyingkirkan pihak yang dianggap menghambat peluang ekonomi. Peristiwa ini menegaskan betapa kuatnya pengaruh kelas sosial dan akses ekonomi dalam dinamika tuduhan.
Monopoli kekuasaan gereja juga memainkan peran besar dalam peristiwa ini. Pendeta Puritan (kelompok Protestan Inggris pada abad ke-16 dan 17), seperti Samuel Parris dan Deodat Lawson berperan layaknya pemimpin spiritual sekaligus otoritas publik yang mengendalikan interpretasi bukti gaib, penafsiran Alkitab, hingga pesan-pesan resmi yang dibagikan melalui khotbah dan publikasi.
Dengan dominasi semacam ini, mereka dapat membentuk opini masyarakat dan memperkuat posisi sosial maupun ekonomi diri dan kelompok mereka sendiri. Bahkan teori medis yang dibahas Mappen dalam Witches & Historians: Interpretations of Salem (1980) menyebutkan bahwa ergotism, yaitu keracunan akibat jamur pada makanan yang dapat memicu kejang dan halusinasi, turut dimanfaatkan untuk memperkuat legitimasi tuduhan sihir. Akibatnya, kebutuhan akan jasa otoritas gereja semakin meningkat di tengah kepanikan publik.
Dampak dan Pelajaran Historis
Baru pada 1702, pengadilan menyatakan witch trials ilegal. Namun trauma sosial dan psikologis masih menghantui. Salem hanyalah bagian kecil dari fenomena global: antara tahun 1400 hingga Revolusi Amerika, penuduhan tak berdasar ini merenggut banyak nyawa perempuan di Eropa akibat peristiwa Witch Hunt (Perburuan Penyihir) yang berlangsung di sana.
Kasus Salem menunjukkan bagaimana, dalam konteks sejarah tertentu, otoritas keagamaan dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik dan ekonomi
Selain itu, perubahan iklim yang mengganggu kestabilan pangan memperburuk ketegangan sosial dan memicu histeria massal. Salem Witch Trials bukan sekadar dongeng, tapi pelajaran tentang bagaimana ekonomi, politik, dan perubahan iklim dapat memicu konflik sosial.
(dag/dag)