MARKET DATA

DPR & Menkeu-BI-LPS-OJK Rumuskan 'Grand Design' Stabilitas Keuangan RI

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
03 December 2025 06:55
Financial Forum 'Penguatan Sistem Keuangan Indonesia'
Foto: Financial Forum 'Penguatan Sistem Keuangan Indonesia'

Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki Desember 2025, pasar keuangan Indonesia menyajikan sebuah paradoks ekonomi yang menuntut perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan.

Di satu sisi, fundamental ekonomi riil terbukti tahan banting dengan pertumbuhan yang solid dan inflasi terkendali. Namun, angka-angka positif ini dibayangi oleh tantangan struktural di sisi finansial, mulai dari "kebocoran" likuiditas devisa hingga isu kepercayaan di pasar modal yang membuat investor mengambil sikap waspada.

Fundamental Kokoh vs Arus Kas Bocor

Perekonomian Indonesia secara fundamental menunjukkan otot yang kuat di Kuartal III-2025 dengan pertumbuhan ekonomi menembus angka 5,04% (year on year/YoY) dan inflasi yang terjaga di 2,86%.

Capaian ini seharusnya menjadi magnet investasi karena menandakan daya beli masyarakat yang terjaga. Namun, terdapat anomali mencemaskan di mana Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) justru mengalami defisit US$ 6,4 miliar meskipun neraca perdagangan surplus. Ini menandakan Dolar hasil ekspor tidak mengendap di dalam negeri melainkan kembali keluar (capital outflow), menekan cadangan devisa.

Dari sisi fiskal, APBN 2025 kini memasuki fase krusial dengan defisit anggaran per Oktober tercatat sebesar 2,02% terhadap PDB. Angka ini masih dalam batas aman, namun menunjukkan pemerintah sedang melakukan belanja ekspansif di akhir tahun.

Tantangan utamanya adalah menyeimbangkan stimulus belanja untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan disiplin fiskal yang ketat, agar "kebocoran" di sisi eksternal tidak diperparah oleh pembengkakan defisit anggaran yang tak terkendali di akhir tahun.

Melawan Bandar & Isu Keamanan

Sepanjang tahun berjalan 2025 (YTD), IHSG mencatatkan reli yang mengesankan, sukses menembus rekor baru dan bertahan kokoh di atas level psikologis 8.500. Momentum positif ini utamanya ditopang oleh optimisme pasar terhadap transisi pemerintahan baru serta ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter global.

Meskipun perjalanan indeks sempat terguncang oleh volatilitas akibat aksi jual bersih (net sell) investor asing, fundamental pasar tetap terjaga berkat dominasi investor domestik dan kinerja solid sektor perbankan Big Caps yang menjadi bantalan utama pergerakan indeks.

Di lantai bursa, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tengah berjuang memulihkan kepercayaan di tengah isu integritas pasar. Sorotan tajam tertuju pada maraknya saham "gorengan" atau pom-pom yang memicu desakan regulator agar Bursa Efek Indonesia bertindak lebih agresif membersihkan pasar dari Menteri Keuangan Purbaya.

Situasi ini diperkeruh oleh isu keamanan siber terkait pembobolan Rekening Dana Nasabah (RDN) yang sempat viral, memaksa sekuritas memperketat sistem keamanan dan membuat investor ritel cenderung menahan diri (wait and see).

Merespons tekanan sentimen dan harga yang terdiskon, sejumlah emiten berkapitalisasi besar (Big Caps) dan BUMN ramai-ramai melakukan aksi buyback saham. Langkah korporasi ini bukan sekadar upaya stabilisasi harga jangka pendek, melainkan sinyal kuat kepercayaan diri manajemen.

Mereka ingin menunjukkan kepada pasar bahwa valuasi saham perusahaan saat ini sudah sangat murah (undervalued) dibandingkan kinerja fundamentalnya, sehingga sangat layak dan aman untuk dikoleksi kembali.

Rupiah Yang Terus Kian Melemah

Tekanan pada nilai tukar Rupiah semakin terasa akibat konsekuensi kebijakan pemangkasan BI-Rate ke level 4,75%. Langkah ini membuat selisih imbal hasil dengan The Fed menipis, memicu hengkangnya dana asing (hot money) dari pasar obligasi RI.

Fenomena ini sangat kontras jika dibandingkan dengan tetangga kita, Malaysia, yang mata uangnya tampil perkasa bukan karena suku bunga tinggi, melainkan berkat derasnya arus investasi riil (FDI) dari raksasa teknologi global seperti Nvidia.

Pelajaran dari "Negeri Jiran" ini menegaskan pesan penting bagi Indonesia: stabilitas Rupiah jangka panjang membutuhkan "pabrik" dan investasi sektor riil yang konkret. Kita tidak bisa selamanya bergantung pada aliran dana portofolio yang fluktuatif untuk menopang defisit neraca berjalan.

Tanpa transformasi struktur investasi ke arah hilirisasi teknologi dan manufaktur, Rupiah akan terus menjadi mata uang yang sensitif dan mudah goyah setiap kali bank sentral Amerika Serikat mengubah arah kebijakannya.

Industri Asuransi di Tengah Badai Inflasi Medis

Industri keuangan non-bank, khususnya asuransi, juga sedang tidak baik-baik saja. Nasabah kini dihadapkan pada kenyataan pahit kenaikan premi yang signifikan sebagai respons industri terhadap "badai" inflasi medis.

Biaya rumah sakit dan obat-obatan terpantau naik jauh di atas inflasi umum, diperparah oleh indikasi praktik overtreatment atau tindakan medis berlebihan oleh oknum rumah sakit yang membuat rasio klaim perusahaan asuransi membengkak tak terkendali.

Langkah repricing atau penyesuaian harga premi ini terpaksa diambil demi menjaga kesehatan keuangan perusahaan agar tetap mampu membayar klaim nasabah di masa depan.

Regulasi Kripto yang Terus Dikembangkan

Sementara itu, pasar aset kripto memasuki babak pendewasaan baru di bawah pengawasan penuh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Transisi regulasi di tahun 2025 ini mengubah wajah industri dari yang sebelumnya spekulatif menjadi kelas aset yang diatur ketat dengan standar keamanan setara perbankan.

Di tengah tren bullish adopsi institusi global, OJK fokus pada perlindungan konsumen, anti-pencucian uang, dan pembersihan platform ilegal, memberikan kepastian hukum yang selama ini dinanti oleh investor aset digital di tanah air.

Investor pasar kripto di Indonesia kian meningkat signifikan sejak beberapa tahun terakhir sehingga memberikan regulator dalam pasar kripto harus lebih cepat dalam menentukan arah kebijakan untuk melindungi investor dari kondisi pasar yang semakin dewasa namun masih tetap memiliki volatilitas yang cukup tinggi.

Didorong dengan adanya mata uang digital yang sedang dikembangkan oleh Bank Indonesia bertajuk proyek Garuda, Central Banks Digital Currency ini menjadi salah satu konsep moneter yang revolusioner untuk masa mendatang guna meningkatkan efisiensi dan juga memperkuat integrasi keuangan internasional seperti cross border payment yang lebih efektif.

Menanti Solusi di CNBC Indonesia Financial Forum

Segala benang kusut ini -- mulai dari defisit arus modal, volatilitas kurs, hingga krisis kepercayaan pasar -- akan menjadi menu utama dalam perhelatan akbar CNBC Indonesia Financial Forum yang bertajuk "Penguatan Sistem Keuangan Indonesia" pada Rabu, 3 Desember 2025.

Forum ini hadir sebagai titik temu krusial untuk merumuskan "Grand Design" stabilitas ekonomi tahun 2026 langsung dari para nahkoda ekonomi negara.

Publik menantikan paparan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai strategi fiskal menambal kebocoran devisa tanpa mengerem pertumbuhan, serta jurus Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti dalam menjaga stabilitas Rupiah di tengah sempitnya ruang moneter.

Dari sisi integritas pasar, Ketua OJK Mahendra Siregar akan memaparkan solusi terkait pembersihan saham gorengan dan reformasi asuransi, sementara Ketua LPS Anggita Abimanyu akan memberikan jaminan keamanan dana nasabah di era digital yang rentan serangan siber. Serta Adies Kadir sebagai Keynote Speaker.

Seluruh orkestrasi kebijakan ini akan dikawal dari sisi legislatif oleh Ketua Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun, memastikan payung hukum yang kuat demi terciptanya iklim investasi yang kondusif.

Konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2025 di Jakarta, Senin (3/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)Foto: Konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2025 di Jakarta, Senin (3/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

-

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)



Most Popular