MARKET DATA

Brutal! 10 Negara Ini Paling Tersiksa Inflasi, Uangnya Terjun Bebas

Emanuella Bungasmara Ega Tirta,  CNBC Indonesia
20 November 2025 14:30
A man shows Argentine pesos outside a bank in Buenos Aires' financial district, Argentina August 30, 2018. REUTERS/Marcos Brindicci
Foto: Mata Uang Argentina Peso (REUTERS/Marcos Brindicci)

Jakarta, CNBC Indonesia- Inflasi masih menjadi momok ekonomi global pada 2025, terutama bagi negara-negara yang menghadapi lonjakan harga ekstrem.

Ketika inflasi melonjak, nilai uang yang dipegang masyarakat merosot dengan cepat. Dalam konteks ekonomi, uang berubah dari alat penyimpan nilai menjadi aset yang "menguap" dari waktu ke waktu. Situasi inilah yang terjadi di sejumlah negara yang kini mencatatkan inflasi tertinggi di dunia.

Bayangkan seseorang menerima pendapatan US$100 pada awal Januari, tetapi di akhir tahun, uang tersebut hanya cukup membeli barang senilai kurang dari US$80.

Inilah realitas ekonomi yang dihadapi banyak penduduk dunia. Data proyeksi yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) menggambarkan bagaimana inflasi 2025 akan memangkas daya beli secara signifikan, bahkan hingga lebih dari 80% di beberapa negara.

 

Menyoroti negara-negara dengan tingkat inflasi tertinggi dan estimasi nilai sisa dari US$100 pada akhir 2025. Dalam seri Money 2.0 ini, riset menyoroti bagaimana dinamika keuangan global memasuki fase baru-di mana pergeseran nilai mata uang dan strategi mempertahankan daya beli menjadi isu utama bagi masyarakat dan bisnis.

Secara sederhana, inflasi adalah proses kenaikan harga yang menggerus kemampuan uang membeli barang dan jasa.

Ketika inflasi terlalu tinggi, nilai uang menurun lebih cepat daripada kenaikan pendapatan. Hal ini terutama terasa bagi rumah tangga yang menggantungkan konsumsi pada penghasilan tetap dan dana tabungan yang stagnan. Akibatnya, struktur konsumsi masyarakat berubah drastis dan daya beli anjlok dalam waktu singkat.

Menggunakan proyeksi IMF, nilai US$100 pada awal 2025 dihitung ulang berdasarkan inflasi sepanjang tahun di masing-masing negara. Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa negara menghadapi skenario ekstrem, di mana mata uang domestik hampir tidak mampu mempertahankan nilainya, bahkan hanya dalam kurun 12 bulan.

IMF memproyeksikan inflasi Venezuela mencapai hampir 549% pada 2025, level yang membuat mata uang Venezuela praktis tidak mampu berfungsi sebagai penyimpan nilai.

Dengan inflasi setinggi ini, US$100 hanya akan bernilai sekitar US$15 pada akhir tahun. Krisis inflasi di Venezuela juga diperdalam oleh sanksi ekonomi yang diberlakukan Amerika Serikat, mempersempit akses negara tersebut ke sistem keuangan internasional.

Meski kasus Venezuela sangat ekstrem, lebih dari separuh negara dalam daftar teratas diperkirakan kehilangan sekitar seperempat atau bahkan sepertiga daya beli sepanjang tahun.

Artinya, gaji dan tabungan masyarakat menyusut nilainya secara cepat, sementara biaya kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, dan sewa rumah naik lebih cepat daripada upah.

Fenomena meluasnya inflasi tinggi ini juga menunjukkan bagaimana instabilitas politik, konflik domestik, dan lemahnya institusi fiskal berkontribusi terhadap depresiasi mata uang.

Negara-negara seperti Myanmar, Haiti, dan Burundi mengalami tekanan ganda dari disrupsi ekonomi, konflik, serta ketidakpastian kebijakan yang mempercepat laju kenaikan harga.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat biasanya mencari cara untuk mempertahankan nilai kekayaannya. Salah satu strategi adalah memindahkan tabungan ke aset atau mata uang yang lebih stabil.

Akses masyarakat terhadap dolar, baik dalam bentuk fisik maupun digital, menjadi solusi yang semakin relevan di tengah inflasi kronis.

Di beberapa negara, penggunaan stablecoin yang dipatok ke dolar AS menjadi alternatif populer. Instrumen ini menawarkan stabilitas nilai yang tidak dimiliki mata uang lokal. Melalui platform seperti Plasma One, masyarakat dapat membuka akses ke kartu global berbasis stablecoin, yang memungkinkan transaksi di lebih dari 150 negara. Dengan demikian, mereka dapat menjaga sebagian nilai uangnya dari erosi inflasi yang agresif.

Penggunaan stablecoin tidak menghilangkan inflasi sepenuhnya, tetapi memberikan perlindungan yang jauh lebih besar dibandingkan menyimpan uang dalam mata uang lokal yang depresiatif. Di banyak negara berkembang dengan inflasi tinggi, tren ini berkembang bukan atas dasar preferensi, tetapi karena kebutuhan mendesak untuk mempertahankan standar hidup.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)


Most Popular