Setelah Dihantam Badai Rebalancing MSCI: Sanggupkah IHSG Balas Dendam?
- Pasar keuangan Indonesia babak belur pada perdagangan kemarin, rupiah dan IHSG jeblok
- Wall Street pesta pora menjelang keputusan The Fed dan pertemuan Trump-Jinping
- Rebalancing MSCI dan data ekonomi global akan menjadi penggerak sentimen hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Awal pekan ini pasar keuangan Tanah Air dibuka dengan performa yang kurang baik, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah terhadap dolar AS sama-sama berada di zona pelemahan.
Kabar penyesuaian perhitungan float Indonesia oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) membuat IHSG jeblok pada perdagangan kemarin. Namun, penurunan tajam kemarin justru memberikan peluang rebound hari ini.
Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dapat dibaca pada halaman 3 pada artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman 4.
Pada perdagangan Senin (27/10/2025), IHSG ditutup terkapar 1,87% di level 8.117,15. Pada perdagangan intraday, IHSG sempat turun hingga 3,70% di level 7.965,47 sebelum akhirnya berhasil ditarik pada sesi II ke level psikologis 8.100.
Pada akhir perdagangan kemarin, tercatat sebanyak 506 saham turun, 234 naik, dan 216 tidak bergerak. Nilai transaksi mencapai Rp 28,68 triliun, melibatkan 37,95 miliar saham dalam 2,85 juta kali transaksi.
Investor asing masih mencatat net buy sebesar Rp 1,2 triliun pada perdagangan kemarin.
Mengutip Refinitiv, hanya sektor kesehatan yang menguat, sedangkan sisanya mengalami koreksi. Energi turun paling dalam, yakni -5,81%. Lalu diikuti oleh bahan baku -3,97% dan properti -3,93%.
Sejumlah saham konglomerat menjadi pemberat utama. Dian Swastatika Sentosa (DSSA) menyumbang beban paling besar, yakni -50,35 indeks poin. Emiten grup Sinar Mas itu pada kemarin turun 12,83% ke level 88.800.
Kemudian saham Prajogo Pangestu, bila ditotal menyumbang -38,29 indeks poin. Akan tetapi angka itu mengalami perbaikan setelah sebelumnya pada sesi I menyumbang -61,78 indeks poin.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan mengatakan bahwa saham Prajogo ambruk seiring dengan muncul isu perubahan perhitungan MSCI dan kabarnya akan membuat saham Prajogo terdepak.
"Tapi ya itu issue, real dari MSCI belum keluar, tapi effectnya investor panic selling duluan," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (27/10/2025).
Managing Director Solstice Handiman menjelaskan bahwa selama ini, saham yang dimiliki oleh korporasi dan lain-lain diluar pemegang saham mayoritas/pengendali) bisa dihitung sebagai free float oleh MSCI.
Akan tetapi dalam aturan baru yang beredar, hal itu akan dianggap sebagai non-free float. "Hal ini kemungkinan akan berdampak terhadap terpenuhinya minimum free float-adjusted market cap untuk masuk ke dalam index MSCI," katanya.
Handiman menilai aturan tersebut sebenarnya lebih fair. Pasalnya MSCI mendefinisikan free float sebagai proporsi saham yang tersedia untuk dibeli oleh investor di pasar ekuitas.
"Namun cukup banyak saham di bursa yang dimiliki oleh pihak tertentu, misalnya pendiri dan pihak berelasi, private equity, cross-holding dalam satu konglomerasi, yang tujuannya strategis, di mana saham ini tidak diperdagangkan di pasar," katanya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Inarno Djajadi menilai penurunan tersebut terbilang wajar karena dalam beberapa waktu terakhir IHSG bergerak naik bahkan menyentuh rekor tertinggi.
Beralih ke rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Senin (27/10/2025) melemah ke posisi Rp16.610/US$1 atau terdepresiasi 0,12%.
Pelemahan rupiah kali ini dipengaruhi oleh sentimen eksternal dan internal. Dari sisi global, pelaku pasar tengah menantikan keputusan suku bunga Amerika Serikat (AS) yang akan diumumkan usai rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 29-30 Oktober 2025, dengan hasil dipublikasikan pada Kamis (30/10/2025) dini hari waktu Indonesia.
Mengacu pada CME FedWatch Tool, probabilitas The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) mencapai 98,1%.
Jika pemangkasan benar terjadi, langkah tersebut berpotensi menekan dolar AS dan memberikan sentimen positif bagi rupiah serta aset berisiko di negara berkembang.
Dari sisi dalam negeri, tekanan terhadap rupiah juga datang dari keluarnya investor asing dari pasar keuangan domestik.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), sepanjang periode 20-23 Oktober 2025, investor asing mencatatkan net outflow sebesar Rp0,94 triliun, meskipun jumlah ini menurun dibandingkan pekan sebelumnya yang mencapai Rp16 triliun.
Rinciannya, terjadi penjualan bersih (net sell) di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2,73 triliun, serta di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp1,28 triliun. Sementara itu, hanya pasar saham yang masih mencatat net inflow dari asing sebesar Rp3,08 triliun.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa investor global masih berhati-hati terhadap aset keuangan Indonesia menjelang keputusan suku bunga The Fed.
Adapun dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Senin (27/10/2025) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik 0,05% di level 5,9238%.
Sebagai informasi, imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN). Begitu pun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan surat berharga negara (SBN).
Pasar saham Amerika Serikat (AS) Wall Street kembali berpesta pora dan memulai awal pekan dengan baik. Wall Street mencapai rekor tertinggi baru berkat laporan laba perusahaan teknologi dan optimisme perdagangan AS-China.
Pada perdagangan Senin (27/10/2025), Dow Jones menguat 0,71% di level 47.544,59. Begitu juga dengan S&P 500 naik 1,23% di level 6.875,14 dan Nasdaq terapresiasi 1,86% 23.637,46.
Indeks-indeks utama Wall Street mencatat rekor penutupan tertinggi untuk hari kedua berturut-turut pada perdagangan Senin karena investor optimistis terhadap prospek kesepakatan perdagangan AS-China dan menantikan pekan yang dipenuhi laporan laba perusahaan teknologi terkemuka dan pemangkasan suku bunga AS yang telah lama dinantikan.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan bertemu pada hari Kamis untuk memutuskan kerangka kerja yang dapat menghentikan tarif AS yang lebih ketat dan pembatasan ekspor logam tanah jarang China, meredakan kekhawatiran pasar seputar perang dagang dan menurunkan pengukur ketakutan Wall Street.
Dalam acara TV akhir pekan, Menteri Keuangan AS Scott Bessent membahas kesepakatan pembelian kedelai AS dan ekspor logam tanah jarang China setelah dua hari perundingan perdagangan di Malaysia.
Bersamaan dengan pertemuan yang akan datang, komentar Bessent meningkatkan harapan akan meredanya ketegangan AS-China, ujar Scott Wren, ahli strategi pasar global senior di Wells Fargo Investment Institute di St. Louis, Missouri.
Laba dari lima perusahaan dari grup Magnificent Seven yang terkemuka yakni Microsoft (MSFT.O), Apple (AAPL.O), Alphabet (GOOGL.O), Amazon (AMZN.O), dan Meta (META.O), akhir pekan ini akan menguji ketahanan reli pasar, yang sebagian besar bergantung pada optimisme seputar pertumbuhan dan belanja modal terkait kecerdasan buatan.
"Dengan lima perusahaan dari Mag Seven yang akan melaporkan kinerjanya minggu ini, pasar berharap untuk mendengar konfirmasi bahwa semua belanja modal AI ini akan tercapai, bahwa pendapatan dan laba dari AI akan tercapai," ujar Wren.
Di antara 11 sektor utama S&P 500, sektor jasa komunikasi (SPLRCL), barang konsumsi diskresioner (SPLRCD), dan teknologi (SPLRCT) semuanya mengalami reli tajam. Sektor yang paling lambat adalah sektor material (SPLRCM) dan barang konsumsi pokok (SPLRCS).
Indeks Philadelphia SE Semiconductor (SOX) mencapai rekor tertinggi baru. Saham Qualcomm (QCOM.O) melonjak setelah meluncurkan dua chip AI untuk pusat data, dengan ketersediaan komersial mulai tahun depan. Pemimpin chip AI Nvidia (NVDA.O) juga menguat.
Saham perusahaan China yang terdaftar di AS, termasuk Alibaba Group Holding (BABA.N), JD.com (JD.O), PDD Holdings (PDD.O), dan Baidu (BIDU.O), juga menguat pada hari itu.
Sementara itu, data inflasi yang lebih dingin pekan lalu hampir menutup spekulasi untuk pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin oleh The Federal Reserve pada hari Rabu, dan investor akan memantau dengan cermat komentar Ketua Jerome Powell untuk mendapatkan petunjuk tentang pemotongan suku bunga pada bulan Desember, karena penutupan pemerintah AS menghambat rilis data penting.
Awal pekan ini bukanlah awal yang cukup baik dalam pembukaan perdagangan pasar, IHSG sempat terperosok hingga 3,70% ke level psikologis 7.900 sebelum akhirnya berhasil ditarik ke level psikologis 8.100.
Namun menariknya, koreksi ini masih dapat dikatakan koreksi sehat karena bukan penurunan yang didorong oleh pelemahan data-data ekonomi RI, melainkan kabar sentimen global yang kini juga masih abu-abu.
Penyesuaian perhitungan float Indonesia oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI), berhasil mendorong investor asing kabur ramai-ramai dari Bursa Saham Tanah Air pada perdagangan kemarin. Meskipun begitu, pasar diperkirakan akan segera rebound mengingat optimisme terhadap pemangkasan suku bunga AS hingga momen borong saham usai penurunan tajam kemarin.
MSCI Kaji Free Float
Kejatuhan IHSG pada perdagangan kemarin usai kabar MSCI tengah mengkaji ulang cara menghitung free float (saham yang beredar dan bisa diperdagangkan publik) untuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang menjadi bagian dari indeks mereka. MSCI membuka konsultasi dan akan menerima masukan dari pelaku pasar hingga 31 Desember 2025, lalu hasilnya akan diumumkan paling lambat 30 Januari 2026.
Untuk saham yang sudah termasuk indeks IMI (MSCI Indonesia Investable Market Index), penyesuaian akan diterapkan saat review Mei 2026. Untuk saham yang belum termasuk IMI, aturan baru bisa langsung diberlakukan sebelum review Mei 2026 untuk menghindari perubahan besar yang mendadak (reverse turnover).
MSCI mengusulkan dua pendekatan baru, dan akan memilih yang lebih rendah nilainya (lebih konservatif).
Pertama, pendekatan 1, berdasarkan data kepemilikan yang diungkapkan oleh perusahaan (laporan tahunan, pengajuan resmi, dan siaran pers), serta data dari KSEI (lembaga kliring Indonesia). Dalam pendekatan ini, saham-saham yang tercatat sebagai Scrip (tidak jelas kepemilikannya di data KSEI), dan dimiliki oleh korporasi atau kategori lainnya, akan dianggap bukan free float.
Pendekatan 2, menggunakan data KSEI, dengan menganggap hanya saham Scrip dan saham milik korporasi sebagai non-free float.
Mulai review Mei 2026, MSCI juga akan mengubah cara mereka membulatkan angka free float:
• High float (>25%) dibulatkan ke kelipatan 2,5% terdekat
• Low float (5-25%) dibulatkan ke kelipatan 0,5% terdekat
• Very low float (<5%) juga dibulatkan ke kelipatan 0,5% terdekat
Dampaknya bagi Indonesia, karena banyak perusahaan Indonesia memiliki kepemilikan besar oleh korporasi atau kelompok tertentu (bukan publik), aturan baru ini bisa menurunkan nilai free float mereka. Akibatnya, porsi saham Indonesia dalam indeks MSCI bisa turun, yang berpotensi menyebabkan arus keluar modal asing (capital outflow).
Selain itu, selama ini beberapa saham Indonesia diuntungkan dari aturan pembulatan lama, sehingga jika aturan baru diterapkan, mereka bisa kehilangan posisi di indeks.
Saham yang paling berisiko dikeluarkan dari indeks (urut dari risiko tertinggi) yakni PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
BI Terus Kurangi Penerbitan SRBI
Bank Indonesia (BI) terus melakukan pengurangan penerbitan instrumen operasi moneter berupa Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pengetatan penerbitan SRBI untuk menjaga ekspansi likuiditas rupiah did alam negeri dilakukan hingga saat ini tersisa Rp 707,05 triliun, dari posisi awal 2025 senilai Rp 916,7 triliun.
Ekspansi likuiditas rupiah juga ditempuh BI melalui penurunan SRBI dari Rp 916,7 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp 707,05 triliun pada 21 Oktober 2025.
Sebagaimana diketahui, penurunan penerbitan SRBI untuk menjaga likuiditas rupiah di dalam negeri ini konsisten dilakukan BI pada tahun ini.
Bank Indonesia (BI) memastikan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) akan tetap dipertahankan sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter.
"SRBI ini adalah instrumen moneter yang tentunya masih akan terus diperlukan. Operasi moneter itu kan menarik likuiditas dari sistem apabila diperlukan, dan melakukan tambahan likuiditas ke sistem apabila kebijakan kita ekspansif," jelas Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya dalam pelatihan wartawan di Bukittinggi, dikutip Senin (27/10/2025).
Pada awal tahun 2025, posisi SRBI sebesar Rp916,97 triliun dan kini menjadi Rp707,05 triliun pada 21 Oktober 2025.
Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan juga menurun masing-masing sebesar 251 bps, 254 bps, dan 257 bps sejak awal 2025 menjadi 4,65%; 4,67%; dan 4,70% pada 17 Oktober 2025.
Menurut Juli, SRBI juga akan berperan sebagai instrumen pendalaman pasar keuangan dan pendorong transmisi dari BI Rate ke suku bunga kredit perbankan. Kini BI juga menerbitkan BI Floating Rate Note (FRN)
"Sebagai instrumen moneter, SRBI akan tetap ada. Hanya saja akan ditambah dengan BI FRN untuk memperkaya instrumen dan memperdalam pasar," pungkasnya.
Laba Bank Mandiri September 2025
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) membukukan laba Rp 37,75 triliun per September 2025.
Direktur Finance & Strategy Novita Widya Anggraini mengatakan bahwa pada sembilan bulan pertama tahun ini, pendapatan bunga bersih bank tumbuh 4,9% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 78,3 triliun. Lalu pendapatan non-bunga naik 7,97% yoy menjadi Rp 33,2 triliun.
Sementara itu, Bank Mandiri mencatat pertumbuhan kredit sebesar 11% yoy menjadi Rp 1.764 triliun. Hal tersebut didukung dengan kemampuan perusahaan menjaga kualitas kredit.
Rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) Bank Mandiri tercatat 1,03% per triwulan ketiga tahun ini.
Adapun pada periode yang sama, dana pihak ketiga (DPK) bank tercatat sebesar Rp 1.884 triliun, naik 13% yoy. Komposisi dana murah atau current account savings account (CASA) sebesar 69,3%.
Laba Industri China Tembus Rekor
Laba perusahaan industri besar di China melonjak tajam pada September 2025, mencatat kenaikan 21,6% dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut data Biro Statistik Nasional (NBS) yang dirilis Senin (27/10/2025), peningkatan signifikan ini memperpanjang tren positif yang sudah terlihat sejak Agustus dan menjadi lonjakan tertinggi sejak November 2023, di tengah kampanye pemerintah untuk menekan perang harga dan menjaga stabilitas industri manufaktur.
Kenaikan laba tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan Beijing untuk mengendalikan persaingan harga ekstrem mulai membuahkan hasil, bahkan ketika perekonomian China masih menghadapi tekanan akibat perlambatan global, ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat, serta lemahnya konsumsi domestik.
"Langkah-langkah kebijakan yang diterapkan untuk menekan perang harga di berbagai sektor industri membantu meringankan tekanan pada produsen dan memperbaiki profitabilitas perusahaan," kata Yu Weining, kepala statistik di NBS, dilansir CNBC International.
Laba industri China sebelumnya sudah tumbuh 20,4% pada Agustus dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan kenaikan September ini, dua bulan berturut-turut mencatat rebound kuat setelah hampir setahun tertekan oleh deflasi harga produsen dan permintaan global yang lemah.
Secara kumulatif, laba perusahaan industri besar meningkat 3,2% dalam sembilan bulan pertama 2025, naik dari pertumbuhan 0,9% pada periode Januari-Agustus.
Kinerja positif itu terutama ditopang oleh sektor manufaktur berteknologi tinggi, yang mencatat lonjakan laba 26,8% pada September. Sementara itu, laba sektor manufaktur secara keseluruhan naik 9,9% pada periode Januari-September, dan perusahaan penyedia listrik, panas, bahan bakar, serta air meningkat 10,3%.
Namun, sektor pertambangan masih tertekan, dengan laba anjlok 29,3% akibat turunnya harga komoditas dan permintaan global yang melemah.
Kenaikan laba ini terjadi meskipun China masih mengalami tekanan deflasi. Pada September, inflasi turun 0,3% secara tahunan, lebih rendah dari perkiraan. Sementara itu, indeks harga produsen terkontraksi 2,3%, memperpanjang tren penurunan harga di tingkat pabrikan yang sudah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut.
Meski laba industri menunjukkan pemulihan, ekonomi China secara keseluruhan masih menghadapi tekanan besar. Pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga hanya 4,8%, laju paling lambat dalam setahun. Selain itu, investasi aset tetap secara tak terduga turun 0,5% dalam sembilan bulan pertama, penurunan pertama sejak pandemi 2020.
Di sisi ekspor, meski masih relatif tangguh sepanjang tahun ini, pertumbuhan diperkirakan akan melambat pada kuartal keempat.
Adapun dengan data laba industri yang membaik dan output industri tumbuh lebih cepat dari perkiraan naik 6,5% pada September dari tahun sebelumnya, lebih tinggi dari 5,2% pada Agustus, para analis menilai Beijing tidak akan terburu-buru menggelontorkan stimulus ekonomi tambahan.
Thailand dan Kamboja Damai
Kabar baik datang dari para pemimpin Thailand dan Kamboja yang menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada Minggu (26/10/2025) di hadapan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Thailand dan Kamboja menandatangani deklarasi bersama mengenai kesepakatan damai yang dijuluki 'Kesepakatan Damai KL'. Deklarasi itu menandai langkah untuk penghentian permusuhan dan pemulihan perdamaian di sepanjang perbatasan mereka yang disengketakan.
Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul dan Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, di sela-sela KTT ASEAN ke-47 di Kuala Lumpur.
Deklarasi tersebut menjadi penguat gencatan senjata yang dicapai pada Juli lalu setelah perundingan antara kedua negara. Deklarasi itu juga meresmikan pembentukan Tim Pengamat ASEAN untuk memantau kepatuhan dan mencegah bentrokan baru di zona perbatasan.
Thailand dan Kamboja telah lama berselisih mengenai perbatasan mereka sepanjang 817 kilometer. Ketegangan memuncak hingga konfrontasi militer pada 24 Juli.
Pada 28 Juli, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menjadi tuan rumah pertemuan penting di Putrajaya antara Manet dan Penjabat Perdana Menteri Thailand saat itu, Phumtham Wechayachai. Pertemuan itu berhasil meredakan ketegangan di sepanjang perbatasan bersama kedua negara.
Gencatan senjata, yang secara luas dianggap sebagai pencapaian ASEAN, mencegah eskalasi militer yang lebih luas dan menjamin keselamatan ribuan warga sipil.
Rapat The Fed
Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) mulai menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Selasa dan Rabu waktu AS dan akan mengumumkan kebijakan suku bunganya pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.
Investor memperkirakan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) akan menurunkan suku bunga acuan sebesar seperempat poin persentase ke kisaran 3,75% hingga 4%, menurut perangkat FedWatch CME Group, yang memperkirakan perubahan suku bunga berdasarkan data perdagangan berjangka dana acuan. Hal ini akan menandai level terendah suku bunga acuan sejak Desember 2022. The Fed memangkas suku bunga acuan pada bulan September untuk pertama kalinya sejak Desember 2024.
Saat ini, perekonomian AS menghadapi situasi langka di mana inflasi dan pasar tenaga kerja memburuk secara bersamaan, yang menimbulkan dilema bagi The Fed tentang masalah mana yang harus ditangani terlebih dahulu.
Para pejabat berbeda pendapat tentang pendekatan apa yang harus diambil. Beberapa pihak menganjurkan pemotongan suku bunga lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang, sementara pihak lain memandang inflasi sebagai ancaman yang lebih besar dan ingin mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2025
CNBC Indonesia hari ini akan menggelar Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2025, INDEF mengangkat tema "Resiliensi Ekonomi Domestik Sebagai Fondasi Menghadapi Gejolak Dunia.
Forum ini akan berfokus pada empat isu utama yang meliputi kedaulatan pangan dan energi, hilirisasi industri & UMKM, penguatan SDM & perlindungan sosial, serta reformasi fiskal, moneter, dan stabilitas keuangan.
Rencananya, acara ini akan dihadiri oleh sejumlah aktor penting seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia; Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dan Menteri Koordinator Bidang Pangan.
Berikut sejumlah agenda ekonomi dalam dan luar negeri pada hari ini:
- Rapat FOMC
-
Sarasehan 100 Ekonom di Auditorium Menara Bank Mega, Jakarta Selatan
-
Peliputan acara Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur DKI Jakarta di The Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan
-
Konferensi pers Kementerian Ketenagakerjaan dalam rangka satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran di kantor Kemnaker, Jakarta Selatan
-
Future of Work Together: One Nation. One Future. One HP di The Ritz-Carlton Jakarta, Jakarta Selatan. Turut hadir Managing Director HP Indonesia.
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw) Next Article Israel vs Iran Membara: Semua Mata Kini Tertuju ke BI & The Fed