Fenomena Baru di RI: Istri Ramai-Ramai Gugat Cerai Suami, Ada Apa?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
26 October 2025 11:45
Ilustrasi Pengadilan. (Pexels)
Foto: Ilustrasi Pengadilan. (Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perceraian di Indonesia kian menunjukkan tren yang fluktuatif dalam lima tahun terakhir. Melansir dari BPS sepanjang 2024 terdapat 399.921 kasus perceraian, sedikit menurun dibanding 2023 yang mencapai 408.347 kasus, namun masih jauh di atas angka pra-pandemi 2020 yang hanya 291.677 kasus. Tren ini menandakan bahwa stabilitas rumah tangga di Indonesia belum sepenuhnya pulih meski pandemi telah berakhir.

Sementara itu, jumlah pernikahan justru terus merosot. Dari 1,78 juta pernikahan pada 2020, angka tersebut menyusut menjadi hanya 1,47 juta pada 2024.

Artinya, ketika semakin sedikit pasangan yang menikah, tingkat perceraian tetap tinggi indikasi bahwa ketahanan pernikahan masyarakat Indonesia mengalami tekanan dari berbagai sisi sosial dan ekonomi.

Menariknya, struktur perceraian di Indonesia masih didominasi oleh cerai gugat, yakni gugatan yang diajukan oleh pihak istri. Pada 2024, cerai gugat mencapai 308.956 kasus, atau sekitar 77% dari total perceraian, jauh di atas cerai talak oleh pihak suami yang berjumlah 85.652 kasus. Angka ini memperkuat fenomena yang sudah beberapa tahun terakhir muncul, di mana perempuan semakin berani mengambil keputusan hukum untuk mengakhiri hubungan yang dianggap tidak sehat.

Jika ditelisik lebih dalam, perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab utama perceraian, dengan 251.125 kasus, setara 63% dari total perceraian nasional 2024. Faktor ekonomi menempati urutan kedua dengan 100.198 kasus, menggambarkan masih rapuhnya fondasi finansial dalam rumah tangga.

Sementara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tercatat 7.243 kasus, menunjukkan isu yang masih signifikan namun sering kali tersembunyi di balik angka statistik.

Faktor lain seperti zina (1.005 kasus), mabuk (2.004 kasus), judi (2.889 kasus), hingga meninggalkan salah satu pihak (31.265 kasus) turut memberi warna pada kompleksitas perceraian di Indonesia. Meski jumlahnya relatif kecil, kategori seperti poligami (849 kasus) dan murtad (1.000 kasus) menunjukkan adanya dinamika sosial dan keagamaan yang turut mempengaruhi ketahanan rumah tangga.

Secara geografis, provinsi-provinsi di Pulau Jawa masih menjadi episentrum perceraian nasional. Jawa Barat menempati posisi teratas dengan 88.985 kasus, disusul Jawa Timur (79.293 kasus) dan Jawa Tengah (64.937 kasus). Ketiganya menyumbang lebih dari separuh total perceraian nasional. Sementara di luar Jawa, Sumatera Utara (15.955 kasus) dan Lampung (14.603 kasus) mencatat angka tertinggi. Pola ini memperlihatkan korelasi antara kepadatan penduduk dan tingginya angka perceraian.

Menariknya, jika membandingkan jumlah pernikahan dan perceraian 2024, terlihat bahwa sekitar 27 dari setiap 100 pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian di tahun yang sama. Rasio ini menandakan tingkat disolusi pernikahan yang tinggi untuk ukuran budaya Timur yang selama ini dianggap menjunjung nilai-nilai kekeluargaan dan ketahanan rumah tangga.

Peningkatan akses terhadap informasi hukum, pergeseran peran gender, dan tekanan ekonomi pasca-pandemi turut berkontribusi pada lonjakan angka cerai gugat.

Selain itu, meningkatnya kesadaran perempuan terhadap hak-hak dalam pernikahan juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan.

Dengan kecenderungan ini, tahun-tahun mendatang tampaknya akan menjadi ujian bagi institusi keluarga di Indonesia.

Ketika jumlah pernikahan kian menurun dan perceraian tetap tinggi, maka stabilitas sosial yang kerap dimulai dari rumah tangga berpotensi menjadi tantangan struktural bagi pemerintah, terutama dalam perumusan kebijakan sosial dan ekonomi keluarga.

CNBC Indonesia Research

(emb/wur)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation