Dunia Ramai-Ramai Pangkas Bunga Secara Agresif: Turki Paling Gila!

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
24 October 2025 10:40
Dunia Menuju Arah yang Berbeda: Suku Bunga Jadi Senjata Baru
Foto: Infografis/ Dunia Menuju Arah yang Berbeda: Suku Bunga Jadi Senjata Baru/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak bank sentral di dunia tengah melonggarkan kebijakan moneternya. Sepanjang 2025, sejumlah bank sentral dunia telah memangkas suku bunganya secara agresif sebagai langkah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang mulai kehilangan tenaga.

Kebijakan ini disambut positif oleh pasar keuangan seiring dengan likuiditas yang kembali deras, biaya pinjaman menurun, dan optimisme investor meningkat.

Namun, di balik euforia tersebut, tersimpan risiko-risiko baru yang dapat menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi global jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Beberapa bank sentral di dunia telah menurunkan suku bunganya sepanjang tahun ini dengan cukup agresif.

Turki menjadi negara dengan pemangkasan suku bunga paling agresif, yakni 800 bps sepanjang 2025. Pada Kamis (23/10.2025), bank wentral Turki menurunkan suku bunga acuan repo satu minggunya sebesar 100 basis poin menjadi 39,5% pada Oktober 2025, sesuai dengan perkiraan pasar. Penurunan ini juga diikuti oleh pemangkasan suku bunga pinjaman overnight menjadi 42,5% dan suku bunga simpanan menjadi 38%.

Meskipun kondisi permintaan menunjukkan adanya tekanan disinflasi (penurunan laju inflasi), data terbaru menunjukkan bahwa proses disinflasi berlangsung lebih lambat, sementara risiko kenaikan harga pangan meningkat.

Dengan pemangkasan kemarin artinya bank sentral Turki telah menurunkan tingkat suku bunganya dari 47,50% menjadi 39,5%. Langkah ini dilakukan setelah inflasi tahunan sempat menurun dari puncak 70% ke kisaran 45%, sehingga memberi ruang bagi Central Bank of the Republic of Turkiye (CBRT) untuk melonggarkan kebijakan moneternya.

Selain itu, Ghana menempati posisi kedua dengan pemangkasan suku bunga sebesar 550 bps, dari 26,0% menjadi 21,5%, menandai periode pemulihan pasca restrukturisasi utang nasional.

Langkah Bank of Ghana (BoG) ini menjadi sinyal bahwa tekanan harga di negara Afrika Barat tersebut mulai mereda, setelah inflasi tahunan turun signifikan dari level di atas 50% pada 2023 menjadi sekitar 22% pada pertengahan 2025.

Rusia pun turut menjadi negara yang cukup agresif memangkas suku bunga nya. Total suku bunga bank sentral Rusia (CBR) dipangkas hingga 400 bps tahun ini, menurunkan suku bunga dari 21,0% menjadi 17,0%.

Langkah bank sentral Rusia ini dilakukan di tengah tekanan yang cukup berat, ekonomi domestik yang stagnan akibat sanksi Barat, inflasi yang mulai terkendali, dan penguatan rubel yang menekan ekspor.

Bank Indonesia (BI) pun tak kalah dengan agresivitas bank sentral beberapa negara. Tercatat sepanjang 2025, BI sudah memangkas 125 bps BI-Rate, dari 6,00% menjadi 4,75%. Hal ini dilakukan BI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi namun dengan tetap menjaga inflasi di level yang rendah atau dalam sasaran 2,5% plus minus 1% dan stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.

BI memang menahan suku bunga acuan pada pertemuan terakhir, Rabu (22/10/2025). Namun, mereka sudah sangat agresif sepanjang tahun ini.

Namun, pemangkasan suku bunga tidak sepenuhnya membawa kabar baik. Di balik kebijakan pelonggaran ini, terdapat sejumlah hal yang perlu diwaspadai dan menuntut kehati-hatian dari otoritas moneter.

Setidaknya ada empat alasan utama mengapa bank sentral harus tetap berhati-hati.

1. Kelebihan Likuiditas Global Belum Hilang

Meskipun kebijakan moneter sempat diperketat selama dua tahun terakhir, sistem keuangan global belum sepenuhnya bersih dari kelebihan likuiditas.

Sektor private credit dan pembiayaan alternatif terus berkembang pesat, bahkan ketika suku bunga tinggi masih berlaku di beberapa negara.

Ketika suku bunga kini mulai turun, risiko leverage berlebihan dan ekspansi utang kembali meningkat. Uang murah bisa mengalir kembali ke aset berisiko dari pasar saham hingga properti menciptakan potensi bubble baru yang dapat mengguncang stabilitas keuangan global di kemudian hari.

2. Permintaan Ekonomi Dunia Masih Kuat

Berbeda dari siklus pelonggaran sebelumnya, pemangkasan bunga kali ini terjadi di tengah permintaan agregat global yang masih solid.

Amerika Serikat masih mencatat konsumsi rumah tangga yang kuat dan lonjakan investasi di sektor kecerdasan buatan (AI). Di Eropa, stimulus fiskal Jerman dan lonjakan belanja pertahanan menopang aktivitas ekonomi. Jepang pun memberi sinyal pelonggaran fiskal tambahan untuk menjaga momentum pertumbuhan.

Namun, sisi pasokan atau supply justru tertekan oleh penurunan imigrasi, keterbatasan tenaga kerja, dan hambatan geopolitik. Jika bank sentral menurunkan bunga terlalu cepat, inflasi bisa kembali naik sebelum benar-benar terjinakkan dapat memaksa siklus pengetatan baru yang lebih menyakitkan.

3. Ketidakpastian Geopolitik dan Kebijakan Kian Meningkat

Tren pelonggaran moneter berlangsung di saat dunia menghadapi gejolak geopolitik yang semakin rumit.

Kebijakan perdagangan AS yang sering berubah, potensi retaliasi dari China, konflik di Timur Tengah, serta ketegangan di sekitar Taiwan menambah risiko terhadap rantai pasok global.

Sementara itu, euforia terhadap potensi produktivitas dari AI membuat sektor semikonduktor menjadi medan strategis baru bagi perebutan pengaruh global.

Dalam kondisi seperti ini, pasar finansial bisa cepat kehilangan keseimbangan. Jika tensi geopolitik meningkat, pelonggaran moneter justru bisa memperburuk volatilitas hingga dapat mendorong arus modal keluar dari negara berkembang dan menekan stabilitas nilai tukar.

4. Ruang Fiskal Pemerintah Dunia Makin Terbatas

Setelah pandemi dan lonjakan belanja fiskal beberapa tahun terakhir, banyak negara kini kekurangan amunisi fiskal untuk menghadapi potensi krisis baru.Rasio utang terhadap PDB meningkat tajam, defisit fiskal melebar, sementara tekanan politik terhadap belanja publik juga semakin tinggi.

Dalam kondisi ini, keandalan intervensi bank sentral bisa terganggu karena pemerintah tak lagi memiliki cukup kapasitas finansial untuk mendukung langkah penyelamatan sektor keuangan. Jika gejolak pasar muncul kembali, kemampuan global untuk merespons akan jauh lebih terbatas dibanding satu dekade lalu.

Tren pemangkasan suku bunga global memang dapat memberi napas segar bagi perekonomian dunia yang melambat. Namun sejarah mengingatkan, banyak krisis keuangan justru berawal dari masa-masa pelonggaran moneter yang terlalu cepat dan terlalu agresif.

Bank-bank sentral kini harus berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu.

Stabilitas keuangan harus kembali menjadi bagian dari pertimbangan utama kebijakan moneter, karena di dunia pasca-pandemi dan di tengah ketidakpastian geopolitik, satu kesalahan langkah saja bisa kembali memicu krisis global yang tak mudah dikendalikan.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation