
Lembaga AS Ingatkan RI: Program MBG Bisa Picu Lonjakan Impor Kedelai

Jakarta, CNBC Indonesia- Ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai tampaknya masih akan berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.
Dalam laporan terbaru Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) atau USDA berjudul Oilseeds and Products Update , produksi kedelai domestik untuk tahun pemasaran (MY) 2024/25 hanya diproyeksikan sekitar 350 ribu ton, sementara kebutuhan nasional mendekati 2,9 juta ton. Tingginya kebutuhan salah satunya karena program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Artinya, pasokan lokal baru memenuhi sekitar 12% dari total kebutuhan kedelai dalam negeri. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya swasembada yang sempat dicanangkan masih jauh dari tercapai.
Produksi kedelai yang stagnan terutama disebabkan oleh keterbatasan lahan, rendahnya produktivitas, serta rendahnya minat petani untuk menanam kedelai akibat harga jual yang kurang kompetitif dibanding komoditas lain.
Laporan yang sama menyebutkan bahwa impor kedelai tahun 2024/25 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton, dengan stok akhir sekitar 261 ribu ton. Volume ini relatif stabil dibanding tahun sebelumnya, namun menunjukkan ketergantungan yang kronis terhadap pasokan dari Amerika Serikat dan beberapa negara pemasok utama lainnya.
Seperti yang diketahui, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto berpotensi memperkuat tekanan terhadap kebutuhan kedelai nasional.
Program yang bertujuan menyediakan asupan protein nabati bagi jutaan pelajar di seluruh Indonesia, yang sebagian besar bersumber dari olahan berbasis kedelai seperti tempe dan tahu. Dengan ekspansi MBG pada tahun 2025, permintaan kedelai diperkirakan meningkat signifikan, terutama untuk sektor pangan rumah tangga dan industri pengolahan kecil-menengah.
Dalam skenario baseline, impor kedelai diproyeksikan naik bertahap dari 2,6 juta ton pada 2024/25 menjadi 2,85 juta ton pada 2027/28, meskipun produksi domestik sedikit meningkat. Artinya, kenaikan permintaan akibat MBG dan pertumbuhan konsumsi masyarakat jauh melampaui peningkatan kapasitas produksi.
Dalam skenario kedua atau high-demand scenario, apabila MBG mempercepat peningkatan konsumsi protein nabati, sementara produktivitas kedelai nasional menurun, maka impor berpotensi menembus 3 juta ton pada 2027/28.
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberhasilan program MBG dalam memperbaiki gizi masyarakat berpotensi membawa konsekuensi ekonomi berupa lonjakan kebutuhan impor kedelai yang harus diantisipasi sejak dini melalui strategi ketahanan pangan nasional.
Jika tren ini berlanjut, maka dalam tiga tahun ke depan, ketergantungan impor kedelai Indonesia akan berada di kisaran 88-90% dari total kebutuhan nasional.
Hal ini berarti kebijakan MBG perlu diimbangi dengan strategi peningkatan produktivitas kedelai dalam negeri, baik melalui riset varietas unggul, intensifikasi lahan, maupun kebijakan harga yang memberi insentif kepada petani. Tanpa langkah-langkah ini, MBG justru berpotensi menambah beban defisit neraca perdagangan pangan nasional.
Namun di sisi lain, gejolak tarif perdagangan global akibat kebijakan Donald Trump terhadap China bisa menghadirkan peluang sementara bagi Indonesia. Sebelumnya di pertengahan Oktober 2025, Trump sedang mempertimbangkan penghentian hubungan dagang dengan Beijing, termasuk pelarangan ekspor kedelai ke China.
China yang selama ini menyerap hampir setengah ekspor kedelai AS mungkin akan mengalihkan permintaan ke Brasil atau Argentina, sementara stok AS menumpuk.
Dalam situasi itu, Indonesia berpotensi mendapatkan harga impor kedelai yang lebih murah karena Amerika mencari pasar alternatif. Indonesia tercatat sebagai salah satu dari lima besar pembeli kedelai AS, dengan nilai impor sekitar US$1,24 miliar pada 2024 atau setara 5% dari total ekspor kedelai AS.
Kondisi tersebut menciptakan ruang negosiasi strategis bagi Indonesia. Jika pemerintah mampu memanfaatkan surplus stok kedelai AS dengan kontrak jangka menengah-terutama untuk mendukung kebutuhan MBG-harga bahan baku tempe dan tahu dapat ditekan. Namun efek ini bersifat jangka pendek. Begitu China kembali memborong kedelai dari pemasok non-AS, harga global akan melonjak kembali. Karena itu, peluang dari "tarif Trump" ini sebaiknya digunakan sebagai momentum menata kembali rantai pasok nasional, bukan alasan untuk menunda kemandirian produksi.
Dengan demikian, lonjakan impor kedelai akibat MBG harus dibaca sebagai dua sisi mata uang: satu sisi memperlihatkan keberhasilan sosial melalui peningkatan gizi masyarakat, namun sisi lainnya menantang ketahanan pangan di tengah fluktuasi geopolitik global.
Ketika Gedung Putih berteriak soal tarif dan Beijing menutup pelabuhan ekspor, riak kecilnya bisa sampai ke penggorengan tempe di Tanah Air. Tantangan ke depan adalah memastikan program MBG tidak hanya memberi makan anak bangsa, tapi juga menjadi katalis untuk membangun ekosistem produksi kedelai yang tangguh dan berdaulat.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)