1 Tahun Prabowo-Gibran

Dunia Berguncang, Prabowo Hadapi Huru-Hara di Tahun Pertama

Gelson Kurniawan, CNBC Indonesia
20 October 2025 20:20
Nah Lho! 2 Negara Ini Diramal Kena Krisis Ekonomi di 2024
Foto: Infografis/ Nah Lho! 2 Negara Ini Diramal Kena Krisis Ekonomi di 2024/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Periode satu tahun pemerintahan Prabowo subianto-Gibran Rakabuming Raka diwarnai gejolak dan ketidakpastian dari landskap global.

Pasar keuangan global, termasuk Indonesia, dipaksa menavigasi medan yang terjal, didikte oleh pergeseran seismik kebijakan di Washington, respons keras dari Beijing, dan konflik geopolitik yang kembali memanas.

Bagi investor di Bursa Efek Indonesia, ini adalah tahun di mana kewaspadaan menjadi kunci. Setiap peristiwa, mulai dari hasil pemilu di Amerika Serikat hingga eskalasi di Timur Tengah, mengirimkan gelombang kejut yang langsung terasa pada pergerakan IHSG, nilai tukar Rupiah, dan pasar SBN.

Berikut beberapa peristiwa paling krusial ini, merangkainya dalam sebuah narasi untuk memahami bagaimana satu peristiwa memicu peristiwa lainnya, dan bagaimana dampaknya secara langsung mengguncang kantong-kantong investasi di Tanah Air.

Hasil Pemilu Amerika Serikat

Peristiwa yang menjadi katalis utama setahun terakhir adalah kemenangan Partai Republik dan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Pasar tidak perlu menunggu lama untuk menerjemahkan hasilnya.

Kemenangan pemilu pada November 2024  secara instan menciptakan dua ekspektasi utama yaitu kebijakan domestik yang pro-pertumbuhan melalui deregulasi dan pemotongan pajak, serta kebijakan luar negeri yang jauh lebih konfrontatif dan proteksionis.

Era kebijakan yang cenderung dapat diprediksi telah berakhir, digantikan oleh periode volatilitas tinggi yang didorong oleh keputusan politik.

Sentimen risk-off langsung menyebar di pasar emerging markets. IHSG dan Rupiah mengalami tekanan jual dalam jangka pendek karena investor global menarik modal untuk mengamankan aset dalam Dolar AS. Prospek perang dagang yang kembali membayangi menciptakan ketidakpastian besar bagi emiten-emiten berorientasi ekspor.

Perang Dagang dengan China & Tarif Trump

Sejalan dengan janji kampanyenya, pemerintahan Trump tidak membuang waktu untuk memulai kembali perang dagang. Tarif yang signifikan diberlakukan secara bertahap sepanjang paruh pertama 2025, menyasar berbagai produk China. Ini bukan sekadar gertakan, melainkan kebijakan nyata yang bertujuan mengubah neraca perdagangan kedua negara.

Ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, perlambatan volume perdagangan dunia dan ekonomi China berisiko menekan permintaan ekspor komoditas Indonesia.

Namun di sisi lain, ini menjadi katalis utama yang mempercepat strategi "China+1", di mana perusahaan multinasional merelokasi pabrik dari China ke negara-negara ASEAN, memberikan potensi lonjakan foreign direct investment ke kawasan industri di Indonesia.

Foto kolase Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping. (REUTERS)Foto: Foto kolase Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping. (REUTERS)

Langkah Suku Bunga BoJ

Di saat dunia masih mencerna arah baru Washington, Bank of Japan (BoJ) membuat guncangan tak terduga. Dalam sebuah langkah historis, BoJ secara resmi mengakhiri kebijakan suku bunga negatif (NIRP) yang telah menjadi ciri khasnya selama bertahun-tahun.

Keputusan ini didorong oleh data inflasi Jepang yang akhirnya mulai bangkit, sebuah perubahan struktural yang signifikan bagi ekonomi terbesar ketiga di dunia itu.

BOJ secara kembali mengerek suku bunga sebesar 0,25 bps menjadi 0,5% pada Januari 2025. Level ini adalah tertinggi sejak 17 tahun.

Keputusan BoJ menyebabkan Yen Jepang melonjak tajam dan memicu gelombang repatriasi modal. Dana-dana pensiun raksasa Jepang, yang merupakan salah satu investor terbesar di pasar obligasi global, mulai menjual kepemilikan mereka di US Treasury dan obligasi Eropa untuk membawa pulang modalnya.

Hal ini sempat menyebabkan kenaikan sementara pada yield obligasi global, termasuk tekanan pada pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Pemangkasan Suku Bunga The Fed

Ini adalah momen yang paling dinanti-nanti oleh pasar keuangan global. Setelah berbulan-bulan membangun ekspektasi, The Federal Reserve akhirnya secara resmi memulai siklus pelonggaran moneternya.

Suku bunga acuan AS dipangkas sebesar 50 basis poin pada September 2024, sebuah sinyal kuat bahwa era pengetatan agresif telah berakhir dan bank sentral AS kini fokus menopang pertumbuhan. Hingga hari ini Fed Funds Rate sudah dipangkas 125 bps dan duduk di level 4,00% - 4,25%.

Pasar merespons dengan euforia. Rupiah menguat tajam menembus level psikologis penting. Arus modal asing (capital inflow) deras masuk ke pasar SBN, menekan yield secara signifikan dan memberikan capital gain bagi investor.

IHSG ikut reli, dipimpin oleh sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga seperti perbankan, properti, dan teknologi.

Paket Stimulus Properti China

Dihantam oleh tekanan eksternal dari tarif AS dan krisis properti domestik yang kronis, Beijing merespons dengan kekuatan penuh. Pemerintah meluncurkan paket stimulus properti terbesar sejak krisis keuangan 2008, menyuntikkan likuiditas masif untuk mencegah keruntuhan sistemik.

Stimulus ini menjadi penopang vital bagi pasar komoditas. Harga batu bara, nikel, dan CPO yang sempat tertekan, kembali menemukan pijakannya. Bagi IHSG, ini adalah sentimen krusial yang mengangkat kembali kinerja saham-saham di sektor energi (ADRO, ITMG) dan pertambangan (ANTM, INCO), yang memiliki bobot besar di indeks.

Larangan Ekspor Chip ke China Diperketat

Perang dagang ini memiliki ujung tombak teknologi. Washington tidak hanya melanjutkan, tetapi juga memperketat larangan ekspor chip semikonduktor canggih dan mesin litografi ke China. Kebijakan ini secara efektif bertujuan untuk menghambat kemajuan China di bidang strategis seperti kecerdasan buatan (AI) dan 5G.

Disrupsi pada rantai pasok elektronik global terasa. Namun, ini juga membuka peluang bagi Indonesia, khususnya Batam, untuk menarik investasi di bidang perakitan dan pengujian chip (assembly and testing), seiring dengan diversifikasi yang dilakukan perusahaan teknologi global.

Reli Saham AI di Amerika 

Didorong oleh suku bunga The Fed yang lebih rendah dan narasi revolusi AI yang tak terbantahkan, euforia pada saham-saham teknologi AS terus berlanjut. Valuasi perusahaan seperti Nvidia dan Microsoft meroket, mengangkat indeks Nasdaq dan S&P 500 ke rekor tertinggi baru.

Sentimen positif dari Wall Street seringkali menular ke pasar global. Di Indonesia, ini secara khusus mendorong minat investor pada saham-saham telekomunikasi (TLKM, EXCL) dan pengelola menara, serta emiten yang terkait dengan infrastruktur digital dan pusat data, yang dianggap sebagai proksi dari tren AI global.

Ledakan Pasar Private Credit

Sebuah pergeseran struktural terjadi di dunia pembiayaan. Karena bank-bank konvensional masih mengetatkan pinjaman, dana investasi swasta masuk untuk mengisi kekosongan. Pasar Private Credit (pinjaman langsung dari dana investasi ke perusahaan) meledak menjadi industri bernilai triliunan dolar.

Meskipun tidak berdampak langsung ke IHSG, ini menunjukkan adanya likuiditas global masif di luar sistem perbankan yang mencari imbal hasil. Ini adalah sinyal positif bagi kebutuhan pendanaan proyek-proyek strategis dan pembangunan infrastruktur di Indonesia, yang dapat menarik modal dari sumber-sumber alternatif ini.

Harga Emas Tinggi: Badai yang Sempurna

Harga emas mencapai rekor tertinggi baru sepanjang masa. Kenaikan ini didorong oleh kombinasi sempurna: pemangkasan suku bunga The Fed (membuat emas lebih menarik), eskalasi konflik Israel-Iran (mendorong permintaan safe haven), dan pembelian masif oleh bank-bank sentral yang ingin mengurangi ketergantungan pada Dolar AS.

Ini menjadi durian runtuh bagi emiten pertambangan emas di IHSG seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Archi Indonesia Tbk (ARCI), dan PT Pamapersada Nusantara (PSAB) Kinerja keuangan dan harga saham mereka melonjak, menjadi salah satu sektor dengan performa terbaik di bursa sepanjang tahun 2025.

Shutdown Pemerintah AS

Pertarungan politik yang sengit antara Gedung Putih dan Kongres mengenai anggaran belanja federal menemui jalan buntu. Akibatnya, pemerintah AS terpaksa melakukan penutupan sebagian layanan pemerintahan (shutdown). Peristiwa yang telah menjadi "drama" rutin di Washington ini, sekali lagi, berhasil mengikis kepercayaan pasar terhadap stabilitas politik dan fiskal AS, meskipun hanya dalam jangka pendek.

Shutdown pemerintah Amerika Serikat dimulai pada 1 Oktober 2025, pukul 00:01 waktu setempat (EDT), setelah Kongres gagal menyetujui anggaran untuk tahun fiskal 2026.

Shutdown ini menciptakan gelombang volatilitas jangka pendek di pasar keuangan global. Bagi Indonesia, dampaknya terasa melalui pelemahan sementara sentimen investor asing. Namun, secara ironis, peristiwa ini seringkali justru meningkatkan permintaan terhadap obligasi pemerintah AS (US Treasury) sebagai aset paling aman, yang ikut berkontribusi menekan yield obligasi global lebih rendah.

Eskalasi Konflik Israel-Iran

Ketegangan di Timur Tengah yang telah membara selama berbulan-bulan akhirnya meledak. Sebuah serangan balasan langsung antara Israel dan Iran menandai eskalasi paling berbahaya di kawasan itu dalam beberapa dekade.

Ancaman perang terbuka yang dapat menutup Selat Hormuz, jalur pelayaran minyak paling vital di dunia, seketika menjadi nyata dan memicu kepanikan di pasar energi.

Harga minyak mentah Brent melonjak di atas US$100 per barel dalam sekejap. Pasar saham global, termasuk IHSG, mengalami aksi jual masif (risk-off). Investor melarikan diri dari aset berisiko dan memburu Dolar AS serta emas.

Bagi Indonesia, ini adalah pukulan ganda yakni tekanan hebat pada Rupiah dan ancaman pembengkakan drastis pada anggaran subsidi energi (BBM dan LPG), yang berisiko memperlebar defisit APBN.

Ilustrasi cover Israel vs IranFoto: Ilustrasi Israel vs Iran, (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia)
Ilustrasi cover Israel vs Iran

-

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation