
Triplek RI Mendunia: dari Lembaran Kayu Jadi Mesin Devisa

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia kembali membuktikan ketangguhannya. Tumpukan lembaran kayu yang disatukan resin, menyimpan kisah industri yang menopang devisa negeri, plywood.
Produk sederhana yang dikenal masyarakat sebagai "triplek" ini justru menjelma menjadi salah satu penyumbang ekspor terbesar Indonesia di sektor nonmigas.
Data Satu Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, nilai ekspor plywood Indonesia pada periode Januari-Juni 2025 mencapai US$851,6 juta, tumbuh 3,86% secara tahunan (YoY).
Meski pertumbuhan terlihat moderat, capaian ini terjadi di tengah penurunan ekspor komoditas lain akibat perlambatan ekonomi global sebuah sinyal kekuatan daya saing industri kayu olahan nasional.
Menurut Indonesia Eximbank Institute (LPEI), lembaga di bawah Kementerian Keuangan yang memegang peran penting dalam pembiayaan dan penguatan daya saing ekspor, tren ekspor plywood Indonesia masih akan berlanjut positif hingga 2026.
"Kami memperkirakan pertumbuhan ekspor plywood bisa mencapai 8% YoY pada 2025, didorong permintaan stabil dari pasar utama seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Malaysia," ujar Rini Satriani, Market Intelligence & Leads Management Chief Specialist LPEI.
Lebih jauh, LPEI menilai bahwa daya saing ekspor plywood Indonesia relatif terjaga berkat kombinasi antara ketersediaan bahan baku, standar legalitas kayu yang diakui internasional (SVLK), serta struktur biaya produksi yang efisien.
Dengan posisi Indonesia kini sebagai eksportir plywood terbesar kedua dunia, produk kayu olahan nasional telah menjadi wajah industri hijau yang berkelanjutan.
Capaian semester pertama 2025 itu juga tidak lepas dari kontribusi pasar Amerika Serikat, yang menjadi motor utama pertumbuhan ekspor. Negeri Paman Sam tercatat menyerap US$280,3 juta plywood Indonesia-melonjak 34,77% YoY. Menurut LPEI, lonjakan ini terkait dengan meningkatnya permintaan dari industri Recreational Vehicle (RV) yang menggunakan plywood sebagai material interior dan panel konstruksi.
Selain Amerika, pasar China juga mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 34,79% YoY, mencapai US$32,33 juta. Kenaikan permintaan dari negeri tirai bambu menegaskan posisi plywood Indonesia sebagai alternatif penting di tengah pengetatan pasokan domestik di Asia Timur. Adapun Malaysia menjadi mitra penting di Asia Tenggara dengan kenaikan 5,31% YoY.
Meski kontribusi terbesar masih berasal dari negara maju, ekspor plywood RI kini semakin terdiversifikasi ke lebih dari 85 negara, melibatkan sekitar 400 eksportir aktif.
Dari jumlah tersebut, sekitar 20 perusahaan skala besar mencatat ekspor di atas Rp500 miliar per tahun. Pola ini menunjukkan bahwa industri plywood domestik bersifat inklusif, dengan struktur pasar yang kompetitif tanpa dominasi pemain tunggal.
Di balik stabilitas itu, terdapat tantangan yang perlu diwaspadai. Negara pesaing baru seperti Tanzania dan Kamerun mulai mengincar ceruk pasar plywood global, terutama di Timur Tengah dan Afrika. Selain itu, biaya sertifikasi kayu berstandar SVLK masih menjadi kendala bagi eksportir kecil-menengah, sehingga efisiensi dan dukungan kebijakan menjadi faktor penentu keberlanjutan industri ini.
Dalam konteks inilah, melalui riset, pendampingan, dan analisis pasar, LPEI aktif memberikan intelijen strategis bagi pelaku ekspor agar mampu menavigasi perubahan permintaan global.
Lembaga ini juga mendorong kolaborasi lintas sektor-antara pelaku industri, pemerintah, dan lembaga keuangan-untuk menjaga keberlanjutan rantai pasok plywood yang ramah lingkungan.
Ke depan, LPEI memproyeksikan bahwa prospek ekspor plywood Indonesia akan tetap positif seiring meningkatnya tren pembangunan hijau dan permintaan material berkelanjutan di dunia. Dengan strategi diversifikasi pasar, kemudahan sertifikasi, serta dorongan inovasi produk, plywood Indonesia dapat menjadi simbol bagaimana industri nasional bisa tumbuh tanpa menebang masa depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
