
Ramai-Ramai Dunia Tinggalkan Utang Dolar AS, Kemahalan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah negara berkembang mulai meninggalkan utang berbasis dolar Amerika Serikat (AS).
Negara-negara berkembang mulai memilih mata uang lain sebagai basis utang mereka, seperti yuan China dan franc Swiss. Hal ini diambil oleh negara-negara berkembang untuk menekan beban biaya pinjaman yang dalam beberapa tahun ini melonjak seiring dengan kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) yang cukup agresif.
Sejak Maret 2022, mulai melakukan pengetatan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuannya dari batas atas 0,25% ke 0,50%, sejak saat itu The Fed semakin agresif salam mengetatkan moneternya sampai puncaknya di Agustus 2025, suku bunga berada di level 5,25-5,5%.
Kini, suku bunga acuan The Fed berada di 4,25-4,5%, membuat biaya pinjam dalam bentuk dolar AS masih cukup mahal. Kondisi inilah yang mendorong beberapa negara-negara seperti Kenya, Sri Lanka, hingga Panama untuk mencari opsi pembiayaan lain.
Menurut Vice President Global Economic Resarch, Armando Armenta, "tingkat bunga yang tinggi dan kurva yield AS yang curam membuat pendanaan dalam bentuk dolar menjadi jauh lebih mahal bagi negara berkembang, meskipun selisih imbal hasil obligasi cukup rendah. Akibatnya mereka mencari opsi yang lebih murah."
Renminbi China dan Franc Swiss Jadi Pilihan Alternatif
Bagi beberapa negara, mencari alternatif sumber utang menjadi prioritas di saat mahalnya biaya yang harus dikeluarkan bila dengan dolar AS.
Renminbi China misalnya, menjadi salah satu opsi untuk mendapatkan utang baru dari negara-negara berkembang. Hal ini turut membuat nilai tukar renminbi China berada dalam tren penguatan terhadap dolar AS, seiring dengan meningkatnya permintaan utang dalam bentuk yuan China.
Melansir dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan Kamis (11/9/2025) renminbi China berada di level CNY 7,1184/US$, sekaligus mencatatkan level terkuatnya tahun 2025 ini.
Peralihan ke yuan juga tak lepas dari dorongan program Belt and Road China senilai US$1,3 triliun, yang sejak 2010 telah menggelontorkan dana ratusan miliar dolar untuk proyek infrastruktur di berbagai negara.
Kenya, misalnya, tengah bernegosiasi dengan China ExIm Bank untuk mengubah pembayaran utang proyek kereta senilai US$5 miliar dari dolar ke yuan. Sementara Sri Lanka berupaya mencari pinjaman yuan guna melanjutkan proyek jalan tol yang sempat terhenti setelah gagal bayar pada 2022.
Thilina Panduwawala ekonom Frontier Research, menilai, Alasan utama konversi ini jelas soal biaya pendanaan, renminbi memberikan bunga jauh lebih rendah dibanding pinjaman dolar AS.
Selain renminbi, franc Swiss juga kian diminati banyak negara. Panama, misalnya, pada Juli lalu memperoleh pinjaman senilai US$2,4 miliar atau setar Rp39,3 triliun (kurs: Rp16.370/US$) dalam denominasi franc Swiss. Menteri Keuangan Felipe Chapman menyebut langkah itu menghemat lebih dari US$200 juta dibanding penerbitan surat utang dolar.
Selain Panama, Kolombia juga tengah menjajaki pinjaman franc Swiss untuk membeli kembali obligasi dolar berbunga tinggi, dengan imbal hasil 7-8%, sementara bunga berbasis Swiss hanya sekitar 1,5%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)