Blue Chips Tumbang Saat IHSG Terbang, Masa Keemasan "Darah Biru" Usai?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
22 August 2025 13:10
Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepekan lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh 8000 secara intraday waktu pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (15/8/2025). Berkat itu, indeks pasar saham RI menyentuh rekornya.

Namun, dibalik reli itu kenaikan IHSG tak diikuti oleh sejumlah saham yang terkenal likuid dan berfundamental baik. Buktinya, indeks seperti LQ45 sampai IDX30 geraknya masih loyo.

Lihat pada grafik berikut dalam setahun terlihat kalau IHSG berhasil terbang sekitar 5%, tetapi IDX30 malah koreksi sampai 9%, LQ45 malah terjerembab lebih jauh lebih dari 11%.

Perbandingan gerak IHSG vs LQ45 vs IDX30 secara teknikalFoto: Tradingview
Perbandingan gerak IHSG vs LQ45 vs IDX30 secara teknikal

Sebagai catatan, LQ45 adalah indeks yang berisi 45 saham paling likuid di Bursa Efek Indonesia. Secara teori, indeks ini harusnya mencerminkan pergerakan saham-saham unggulan dengan kapitalisasi besar dan sering diperdagangkan.

Namun, data setahun terakhir menunjukkan LQ45 justru turun lebih dari 11%, artinya banyak saham big caps likuid sedang underperform. Hal ini bisa terjadi karena sektor-sektor yang mendominasi indeks (seperti perbankan besar atau komoditas) sedang lesu, sehingga indeks LQ45 tidak selalu mencerminkan kinerja pasar secara keseluruhan.

IDX30 berisi 30 saham dengan kriteria lebih ketat: likuiditas tinggi, kapitalisasi besar, dan fundamental yang dianggap lebih baik. Meski lebih eksklusif, kinerjanya ternyata juga tidak lebih baik. IDX30 terkoreksi 9% dalam setahun terakhir. Ini memberi sinyal bahwa saham-saham "elit" pilihan BEI pun belum tentu memberikan hasil positif, apalagi jika sektor dominan dalam indeks tersebut sedang menghadapi tekanan.

Ini semakin menjadi bukti bahwa sebenarnya IHSG saat ini digerakkan oleh saham-saham konglomerasi yang geraknya cukup liar dalam jangka pendek.

Menelisik terhadap konstituen di top 20 market cap lebih jauh dari tahun ke tahun. Saham BUMN terlihat semakin tersingkir dari peringkat lima teratas, bahkan pada tahun ini sudah tidak ada sama sekali. Bisa dilihat rinciannya pada tabel berikut :

Kalau kondisi ini berlarut-larut, justru bisa jadi boomerang, terutama bagi industri pengelolaan investasi. Banyak manajer investasi (MI) di Indonesia yang membuat produk berbasis indeks, seperti reksa dana indeks atau ETF, yang menjadikan LQ45 maupun IDX30 sebagai acuan (benchmark).

Harapannya, produk itu bisa menawarkan eksposur ke saham-saham unggulan dengan kinerja solid. Namun, kalau kenyataannya LQ45 dan IDX30 terus tertinggal jauh di bawah IHSG, otomatis return produk-produk yang mengacu pada indeks tersebut juga seret dan bahkan bisa membuat investor kecewa.

Lebih jauh lagi, kondisi ini bisa menciptakan ketidakpercayaan pasar terhadap indeks-indeks unggulan BEI. Investor ritel maupun institusi bisa mulai mempertanyakan: "Kalau indeks premium saja kalah dibanding IHSG, apakah masih relevan menjadikan mereka benchmark utama?"

Ketika hal ini terjadi, bukan hanya MI yang terdampak karena kinerja produk mereka kurang kompetitif, tetapi juga kredibilitas indeks LQ45 dan IDX30 sebagai tolok ukur pasar bisa ikut tergerus.

Dalam jangka panjang, jika disparitas kinerja ini terus berlanjut, pasar modal Indonesia bisa menghadapi risiko "benchmark disconnection", kondisi di mana acuan yang seharusnya merefleksikan saham terbaik malah tidak lagi representatif. Pada titik ini, bisa muncul dorongan untuk mendesain indeks baru yang lebih sesuai dengan dinamika pasar aktual, misalnya indeks berbasis sektor, tema, atau gabungan big caps dan mid caps. Jadi memang penting bagi BEI dan pelaku pasar untuk mengevaluasi terus indeks acuan agar tetap relevan.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation