
Ramai-Ramai Perusahaan AS Buyback Saham Sampai Rekor, Tanda Krisis?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan Amerika Serikat (AS) tengah melakukan aksi buyback saham hingga diproyeksikan bisa mencapai nilai tertinggi buyback saham sepanjang sejarah.
Berdasarkan proyeksi dari Goldman Sachs dan Citigroup, total pembelian kembali saham atau buyback oleh perusahaan-perusahaan AS diperkirakan menembus angka US$1 triliun atau sekitar Rp Rp16.445 triliun (kurs Rp16.445) menjadikannya yang terbesar sepanjang era modern. Angka ini melampaui rekor sebelumnya yang tercipta pada 2022 sekitar US$1 triliun dan 2024 US$942,5 miliar.
Lonjakan buyback ini menjadi sinyal kuat atas kepercayaan tinggi korporasi terhadap prospek pasar saham dan strategi efisiensi modal. Selain itu, kondisi moneter yang mulai longgar dan besarnya kas yang dimiliki perusahaan turut menjadi pendorong utama.
Aksi ini juga tercermin dari reli indeks S&P 500 yang mulai bangkit sejak menyentuh titik terendahnya pada April 2025.
![]() S&P 500 |
Buyback Tembus Langit
Pada kuartal I 2025 tercatat total buyback di S&P 500 telah mencapai US$293,5 miliar. Angka tersebut melonjak hampir lima kali lipat dari kuartal I 2024 yang hanya sebesar US$57,3 miliar. Ini merupakan rekor kuartalan tertinggi dalam Sejarah sekaligus menegaskan agresivitas perusahaan dalam membeli kembali sahamnya.
Proyeksi ini menunjukkan tren buyback tidak hanya berlanjut, tapi semakin masif untuk menjadi fondasi penting dalam mendukung harga saham di tengah ketidakpastian ekonomi global dan gejolak geopolitik.
Siapa Saja Pemain Besar di Balik Buyback Jumbo Ini?
Data menunjukkan, beberapa perusahaan teknologi dan perbankan mendominasi daftar perusahaan dengan program buyback saham terbesar di paruh pertama 2025. Apple,Meta Platform, NVIDIA, dan Alphabet mencatatkan nilai pembelian saham kembali yang sangat besar hingga mengungguli sektor lainnya.
Perusahaan yang menjadi pemimpin dalam nilai pembelian saham kembali adalah Applen Inc (AAPL). Perusahaan raksasa teknologi ini telah menghabiskan dana senilai US$26,2 miliar untuk program buyback hanya dalam kuartal I 2025 saja.
Jumlah ini jumlah ini sekaligus menempatkannya sebagai salah satu pengeluaran buyback terbesar sepanjang sejarh indeks S&P 500. Bila dihitung secara tahunan, Apple telah menggelontorkan dana hingga US$106,9 miliar selama periode 12 bulan yang berakhir pada Maret 2025.
Strategi Apple ini tidak hanya mencerminkan arus kas yang kuat tetapi juga menjadi alat untuk mempertahankan kepercayaan investor serta mengurangi jumlah saham beredar yang secara tidak langsung dapat mendorong kenaikan laba per saham.
Meta Platforms (META) juga tampil dengan lonjakan buyback yang signifikan. Pada kuartal I 2025, Meta mengalokasikan Us$17,6 miliar. Angka ini melonjak tajam dari hanya US$3,9 miliar di kuartal IV 2024, kenaikan ini menunjukkan strategi Mark Zuckerberg selaku CEO Meta untuk lebih fokus pada pengembalian nilai ke investor di tengah transisi jangka panjang perusahaan menuju dunia virtual dan Artificial Intelligence (AI).
Tak kalah agresif, NVIDIA (NVDA) menggelontorkan dana US$15,6 miliar di kuartal yang sama, naik dari US$9,7 miliar pada kuartal sebelumnya. Secara tahunan, total buyback NVIDIA mencapai US$46,8 miliar. Kinerja saham NVIDIA yang luar biasa di tengah booming kecerdasan buatan turut mendorong manajemen memperkuat aksi korporasi ini untuk mengamankan nilai perusahaan di mata investor jangka panjang.
Beberapa perusahaan lain juga telah mengumumkan program pembelian kembali saham pada pertengahan tahun ini. Seperti Bank of America (BAC) yang menyetujui program buyback saham senilai US$40 miliar dan akan mulai dilakukan per 1 Agustus 2025. Program ini menggantikan program sebelumnya yang tersisa sekitar US$9,1 miliar hingga akhir Juni.
Selain Bank of America, perusahaan jasa keuangan lainnya seperti Charles Schwab (SCHW) juga telah mengesahkan program buyback saham senilai US$20 miliar pada 24 Juli 2025. Program ini menjadi bagian dari restrukturisasi kapitalisasi perusahaan di tengah tekanan margin.
Sementara itu, Advance Micro Devices (AMD) pada Mei lalu, mengumumkan bahwa Dewan Direksi telah menyetujui program pembelian kembali saham baru senilai US$6 miliar.
Mengutip dari siaran pers resmi perusahaan, otorisasi baru ini akan menambah sisa program sebelumnya pada Maret 2025 yang masih menyisakan sekitar US$4 miliar, sehingga total otorisasi pembelian saham AMD kini mencapai US$10 miliar.
Dalam keterangannya, manajemen AMD menyatakan program buyback ini merupakan bagian dari strategi alokasi modal yang disiplin dan mencerminkan keyakinan perusahaan terhadap pertumbuhan jangka panjang serta kekuatan keuangan yang dimiliki. Pembelian kembali saham juga diharapkan dapat meningkatkan nilai bagi para pemegang saham dan memberikan fleksibilitas dalam mengelola struktur modal.
Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang mendorong banyak perusahaan di AS untuk melakukan buyback saham pada 2025.
Suku Bunga Mulai Turun
Setelah dua tahun menahan suku bunga tinggi untuk menjinakkan inflasi, bank sentral AS (The Fed) mulai mengisyaratkan pelonggaran kebijakan moneter di paruh kedua 2025. Imbal hasil instrumen berisiko rendah seperti obligasi dan deposito mulai menurun. Kondisi ini mengubah perhitungan finansial banyak korporasi besar.
Perusahaan kini melihat, menahan uang tunai di neraca tidak lagi memberikan return yang kompetitif. Dengan suku bunga yang lebih rendah, opportunity cost untuk menyimpan kas meningkat. Sebagai gantinya, perusahaan memilih mengalirkan kelebihan kas untuk pembelian kembali saham sebagai cara meningkatkan nilai pemegang saham.
"Buyback menjadi alternatif efisien ketika suku bunga turun dan tidak ada banyak proyek investasi dengan imbal hasil tinggi di depan mata," ujar David Kostin, Chief U.S. Equity Strategist di Goldman Sachs.
Korporasi Cash Rich
Banyak perusahaan besar AS berada dalam posisi keuangan yang sangat solid pada 2025. Sektor teknologi seperti Apple, Meta, dan NVIDIA mencatatkan arus kas bebas atau free cash flow yang sangat besar berkat pertumbuhan pesat pada bisnis AI dan cloud computing. Serta bank-bank besar yang pulih dari tekanan margin bunga bersih.
Kondisi ini menciptakan cadangan kas berlebih yang signifikan. Dengan minimnya kebutuhan ekspansi besar dalam waktu dekat serta prospek pertumbuhan ekonomi global yang melambat, banyak manajemen perusahaan memutuskan untuk mengembalikan kelebihan kas kepada pemegang saham melalui buyback.
Valuasi Saham yang Lebih Rendah
Koreksi yang terjadi untuk harga saham banyak Perusahaan AS pada kuartal akhir 2024 hingga awal 2025 akibat kekhawatiran soal tarif dagang Presiden AS Donald Trump, memberikan peluang menarik bagi perusahaan untuk membeli saham mereka sendiri di level harga yang relatif murah.
Buyback sering digunakan sebagai sinyal kepercayaan diri manajemen terhadap prospek jangka panjang perusahaannya. Ketika harga saham jatuh karena faktor makro, tetapi fundamental perusahaan tetap kuat, maka buyback dianggap sebagai cara mudah untuk meningkatkan laba per lembar dan memperkuat sentimen pasar.
Banyak perusahaan juga memanfaatkan strategi accelerated share repurchase (ASR) yaitu pembelian saham secara besar-besaran dan cepat untuk menangkap valuasi diskon ini, sementara sebagian lainnya memilih skema pembelian terbuka (open market repurchase).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)