Ringgit Berpesta, Riel Kamboja Terbang Saat Perang: Kok Rupiah Jeblok?

mae, CNBC Indonesia
26 July 2025 10:00
Petugas menjunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di Dolarindo Money Changer, Jakarta, Selasa (8/4/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Petugas menjunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di Dolarindo Money Changer, Jakarta, Selasa (8/4/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mencatatkan kinerja sangat buruk pekan ini di tengah laju kencang mata uang Asia lainnya.

Melansir dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat (25/7/2025) rupiah berada di posisi Rp16.310/US$ atau melemah 0,18% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penutupan kemarin adalah yang terlemah dalam enam hari terakhir.
Dalam satu minggu ini rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,15%, sekaligus memastikan tiga pekan beruntun rupiah melemah terhadap dolar AS.

Pelemahan rupiah hari ini terjadi di tengah sentimen pasar global yang masih dibayangi oleh penguatan indeks dolar AS. Indeks dolar AS (.DXY) ditutup di 97,65 atau posisi terbaiknya dalam empat hari.

Pelemahan rupiah ini justru terjadi di tengah kencangnya mata uang Asia lainnya.

Yen memimpin penguatan dengan terbang 0,78% disusul dengan ringgit Malaysia yang menguat 0,61%. Mata uang riel Kamboja bahkan mampu menguat di tengah konflik perang Kamboja-Thailand.

Kenaikan yen tak terlepas dari hasil negoisasi dagang. AS akhirnya hanya akan membebani tarif barang impor dari Jepang sebesar 15%, lebih rendah dibandingkan rencana awal yakni 24%.

Optimisme negoisasi dagang juga menjadi alasan menguatnya ringgit.

Kepala ekonom Bank Muamalat Malaysia Bhd, Afzanizam Rashid, mengatakan bahwa ada kesan bahwa proses negosiasi tarif tersebut bisa melampaui tenggat waktu 1 Agustus.

Mitra pengelola SPI Asset Management, Stephen Innes, mengatakan pelaku pasar lokal Malaysia masih berhati-hati, sambil menunggu hasil dari kemungkinan kompromi yang dinegosiasikan dengan Washington.

"Jika tarif yang diumumkan lebih rendah dari perkiraan, ada potensi penguatan ringan pada ringgit," jelas Inne, dikutip dari Bernama.
David Barrett, CEO of EBC Financial Group (UK) Ltd. Kepada Fox news mengatakan pasar valuta asing di ASEAN mulai mencerminkan ketegangan ini.

Dong Vietnam dan baht Thailand menunjukkan ketahanan jangka pendek, didukung oleh optimisme terhadap AS dan kesiapan bank sentral untuk campur tangan bila diperlukan.

Sebaliknya, rupiah Indonesia tetap berada di bawah tekanan karena Bank Indonesia menghadapi dilema antara menjaga daya saing dan melindungi diri dari arus keluar modal. Sementara itu, dolar Singapura mengalami pelemahan ringan karena sensitif terhadap siklus permintaan global.

Perbedaan jalur mata uang ini bukan sekadar "noise" pasar-namun mencerminkan bagaimana masing-masing ekonomi memosisikan diri untuk menghadapi badai tarif. Negara-negara yang proaktif bernegosiasi dengan Washington mungkin mendapatkan keuntungan jangka pendek, sementara yang lambat bergerak bisa mengalami penyesuaian nilai aset.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation