
Mahasiswa RI IPK nya Tinggi-tinggi, Emang Jaminan Bisa Kerja?

Jakarta, CNBC Indonesia - Mahasiswa saat ini lebih mudah untuk mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rata-rata IPK nasional pada 2023 adalah sebesar 3,39.
Angka ini didapat dari menghitung rata-rata IPK mahasiswa dari sepuluh bidang pemintaan, yakni agama, ekonomi, humaniora, teknik, sosial, seni, pertanian, pendidikan, MIPA, dan kesehatan dari 34 provinsi yang bersumber dari Statistik Pendidikan Tinggi rilisan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.
Rata-rata tiap bidang juga menorehkan angka serupa. Bidang kesehatan, seni, dan humaniora menjadi bidang dengan rata-rata IPK paling tinggi. Rata-rata IPK ketiganya mencapai 3,44 di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, bidang teknik menjadi bidang dengan rata-rata IPK terendah meskipun tidak jauh berbeda dari bidang yang tertinggi. Rata-rata IPK mahasiswa teknik adalah sebesar 3.29.
Menurut data, mahasiswa humaniora di provinsi Kalimantan Selatan mendapatkan rata-rata IPK tertinggi, yaitu sebesar 3.69. Angka ini bahkan lebih besar daripada rata-rata IPK nasional tahun 2023.
Di mayoritas perguruan tinggi, mahasiswa dengan IPK 3.69 sudah bisa dikategorikan sebagai lulusan dengan predikat Cumlaude, yang artinya lulus dengan pujian.
Biasanya mahasiswa yang lulus dengan predikat Cumlaude adalah mahasiswa yang mendapat IPK di atas 3.5, tetapi aturan bisa berbeda-beda sesuai dengan fakultas dan perguruan tinggi masing-masing. Sementara itu, mahasiswa bidang humaniora di Papua Barat memiliki rata-rata IPK terendah tahun itu, yaitu sebesar 2.74.
Mahasiswa bidang lain dari provinsi ini juga menorehkan angka serupa, contohnya di bidang agama yang menorehkan angka 2.95 untuk rata-rata IPK mahasiswa di sana.
Kalimantan Selatan merupakan provinsi dengan rata-rata IPK tertinggi di seluruh bidang, yakni sebesar 3.52. Kemudian disusul oleh Sulawesi Selatan sebesar 3.5, kemudian DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, dan DI Yogyakarta sebesar 3.49.
Keseluruhan provinsi dalam daftar menorehkan angka yang tidak jauh berbeda. Kalimantan Barat dan Jambi sama-sama menorehkan angka 3.46.
Makin Banyak Mahasiswa Nganggur
Sepanjang satu dekade terakhir, angka pengangguran di Indonesia memperlihatkan tren yang menarik, terutama jika kita menyoroti lulusan perguruan tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah sarjana yang menganggur terus menjadi sorotan.
Pada 2014, tercatat ada 495.143 penganggur dari kategori lulusan universitas. Angka ini melonjak tajam hingga mencapai 981.203 orang pada 2020, sebelum akhirnya sedikit menurun menjadi 842.378 orang pada 2024.
Tren ini menunjukkan bahwa meski pendidikan tinggi sering dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan, realitanya tidak selalu demikian. Dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, jumlah pengangguran sarjana meningkat hampir dua kali lipat.
Pandemi Covid-19 pada 2020 menjadi salah satu penyebab terbesar, ketika dunia kerja lumpuh dan banyak perusahaan memberlakukan pembatasan rekrutmen. Meski pasca-pandemi angka ini mulai menurun, penurunan tersebut tidak cukup signifikan untuk menghapus bayang-bayang ancaman pengangguran sarjana.
Ketika membandingkan dengan lulusan SMA (SLTA Umum), jumlah pengangguran di tingkat ini memang lebih besar secara absolut, yakni mencapai 2.513.481 pada 2023.
Namun, tingkat kompetisi di lapangan pekerjaan untuk lulusan SMA cenderung berbeda. Banyak dari mereka yang masuk ke sektor informal atau pekerjaan dengan keahlian berbeda, di mana kualifikasi tinggi tidak selalu menjadi prioritas.
Sebaliknya, lulusan universitas sering kali terjebak dalam "aspirational mismatch," yaitu kondisi di mana ekspektasi terhadap pekerjaan tidak sesuai dengan realitas yang tersedia di pasar kerja. Hal ini membuat para sarjana lebih lama menganggur dibandingkan lulusan SMA atau bahkan lulusan diploma.
Lulusan akademi atau diploma, di sisi lain, menunjukkan tren yang lebih stabil dibandingkan sarjana. Pada 2014, jumlah penganggur dari kategori ini tercatat sebanyak 193.517 orang. Meski sempat meningkat menjadi 305.261 pada 2020, angka ini kembali turun ke 170.527 pada 2024. Stabilitas ini bisa dikaitkan dengan program pendidikan diploma yang lebih fokus pada keterampilan praktis dan kebutuhan industri.
Ada beberapa alasan yang mendasari tingginya angka pengangguran sarjana di Indonesia seperti mismatch keahlian dan juga Fenomena "reservation wage gap," di mana lulusan memilih menunggu pekerjaan yang dianggap ideal dan juga akses ke peluang kerja yang relevan.
Untuk menurunkan angka pengangguran sarjana, pendekatan pendidikan tinggi di Indonesia harus berubah. Perguruan tinggi perlu lebih fokus pada pengembangan keterampilan praktis dan kerja sama dengan dunia industri.
Selain itu, perlu menjadi konsiderasi pentingnya untuk membangun ekosistem kewirausahaan di kalangan mahasiswa agar mereka tidak hanya bergantung pada pekerjaan formal.
Tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana menunjukkan perlunya langkah konkret dari semua pihak. Dengan mengurangi mismatch keahlian, membuka lebih banyak akses ke pekerjaan, dan mendorong inovasi di sektor pendidikan, harapan untuk mengurangi pengangguran sarjana dalam bukanlah hal yang mustahil.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
