
Dari Sleman ke Shanghai: Salak RI Rajai China, Kapan Kuasai Dunia?

Jakarta, CNBC Indonesia- Dari kebun-kebun di Sleman, Yogyakarta, hingga rak supermarket di Beijing, salak Indonesia kini jadi bintang baru di mata konsumen China. Popularitasnya meledak berkat ulasan viral di media sosial Xiaohongshu, di mana influencer menyebutnya "buah tropis dengan rasa paling unik" dan hasilnya? Permintaan melonjak 90% hanya dalam empat bulan pertama 2025.
Tapi ada dinamika yang lebih kompleks. Bagaimana sebenarnya kondisi industri buah bersisik Indonesia? Seberapa kuat posisi RI di pasar global, dan siapa pesaing yang diam-diam mengintai?
Salak atau Salacca zalacca adalah buah asli Indonesia yang terkenal dengan kulit bersisik mirip ular dan daging renyah manis-asam. Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera Utara jadi sentra utama, dengan varietas Pondoh paling dominan. Produksi nasional sempat menembus 1,2 juta ton pada 2020 sebelum turun ke 1,12 juta ton pada 2023. Fluktuasi ini dipengaruhi cuaca, keterbatasan lahan, dan dinamika permintaan domestik serta ekspor.
Di tingkat petani, harga jual ekspor terutama ke China menjadi penyelamat. "Tidak ada pasar yang menawarkan harga setinggi ekspor, apalagi ke China," ungkap Endang Setyo Murni dari Kelompok Tani Kusuma Mulya di Sleman kepada Xinhua News.
Ekspor Melejit, China Jadi Pasar Kunci
China kini menyerap 26% ekspor salak Indonesia, menempati posisi kedua setelah Malaysia. Dari Januari April 2025, volume ekspor ke China mencapai 571 ton. Permintaan juga stabil di Kamboja, Malaysia, hingga Timur Tengah.
Sayangnya, lonjakan permintaan sering tak sejalan dengan ketersediaan pasokan. Panen musiman membuat suplai terbatas. Ini membuka peluang pesaing regional seperti Thailand, yang agresif memasarkan varietas salak mereka dengan branding "buah premium tropis".
RI Penguasa Global, Tapi Persaingan Makin Ketat
Indonesia tetap produsen salak terbesar dunia, diikuti Thailand dan Malaysia. Namun, dominasi ini bisa tergerus jika kualitas, inovasi pengemasan, dan diversifikasi produk tak ditingkatkan. Thailand, misalnya, mulai mengekspor manisan salak siap saji ke pasar Eropa, sementara RI masih fokus pada buah segar.
Di pasar ekspor, RI dihadapkan pada dua tantangan: menjaga kualitas pasca-panen agar tahan distribusi jarak jauh, serta mendorong inovasi produk turunan seperti jus, sirup, hingga wine salak.
Ke depan, ada tiga langkah kunci: memperkuat rantai distribusi, mengembangkan produk bernilai tambah, dan membuka pasar baru di luar Asia. Pemerintah sudah mulai mendukung lewat promosi di pameran internasional seperti World Expo 2025 Osaka.
Jika RI mampu memanfaatkan momentum booming di China, mengoptimalkan branding salak Pondoh sebagai premium exotic fruit, sekaligus mengantisipasi kompetisi Thailand, maka salak bisa naik kelas layaknya durian Musang King dari Malaysia.
Salak kini bukan sekadar buah tradisional, tapi komoditas strategis yang mempertemukan petani di Sleman dengan konsumen urban di Beijing. Permintaan global membuka peluang besar, namun persaingan regional menuntut inovasi dan efisiensi. Indonesia memimpin, tapi mempertahankan mahkota "raja salak dunia" perlu strategi cerdas agar tidak tergelincir oleh pesaing yang lebih gesit.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)